Rencana Skema Baru Antrean Haji Butuh Strategi Pendukung Menyeluruh, Transparan, dan Berorientasi Perlindungan Jemaah

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Rencana pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) untuk menerapkan skema baru pembagian kuota haji merupakan langkah penting menuju sistem antrean yang lebih adil. Menurut Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris, skema ini bertujuan menyeragamkan masa tunggu haji di seluruh daerah Indonesia, yang selama ini timpang hingga mencapai 40 tahun di beberapa provinsi, sementara di wilayah lain hanya belasan tahun.
“Namun, keadilan antrean tidak cukup diwujudkan dengan pembagian kuota semata, melainkan juga membutuhkan strategi pendukung yang menyeluruh, transparan, dan berorientasi pada perlindungan jemaah,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/09/2025) malam.
Senator Jakarta ini mengungkapkan, jika nanti diterapkan, kebijakan skema baru ini akan dihadapkan berbagai tantangan. Skema baru berbasis proporsi penduduk Muslim dan daftar tunggu memang menjanjikan pemerataan, tetapi juga memunculkan konsekuensi, terutama bagi daerah yang selama ini antreannya lebih singkat. Oleh karena itu, menurut Fahira Idris, agar transisi ini berjalan mulus, dibutuhkan pendekatan strategis di luar sekadar rumus distribusi kuota. Setidaknya terdapat sejumlah rekomendasi yang patut mendapat perhatian.
Pertama, integrasi edukasi haji sejak dini. Fahira Idris mengusulkan, literasi haji perlu ditanamkan melalui kurikulum sekolah dan program dakwah, agar generasi muda memahami pentingnya mendaftar dan menabung sejak awal. Dengan begitu, mereka masih memiliki kondisi fisik prima ketika tiba jadwal keberangkatan.
Kemudian sistem antrean dinamis, di mana skema masa tunggu seragam perlu disertai mekanisme prioritas. Lansia, penyandang disabilitas, dan jemaah dengan penyakit kronis diberi jalur khusus, sementara opsi percepatan dengan biaya tambahan bisa diterapkan secara terbatas dengan prinsip subsidi silang bagi yang kurang mampu.
Terkait inovasi digital, tabungan haji berbasis aplikasi harus inklusif dan mudah diakses, termasuk bagi masyarakat desa dan lansia. Fitur simulasi antrean real-time yang terbuka untuk publik akan meningkatkan transparansi sekaligus mencegah manipulasi data.
Demikian pula dengan diplomasi regional, di mana Indonesia memang mendapat kuota terbesar di dunia, tetapi masih jauh dari mencukupi. Pemerintah dapat memimpin inisiatif diplomasi kolektif dengan negara-negara ASEAN berpenduduk Muslim besar, seperti Malaysia dan Brunei, untuk mendorong mekanisme penambahan kuota regional. Dengan posisi tawar yang lebih kuat, peluang negosiasi dengan Kerajaan Arab Saudi bisa lebih besar.
Juga terkait audit independen dan partisipasi publik. Audit independen terhadap sistem antrean, dana haji, dan kinerja lembaga penyelenggara perlu dilakukan rutin. Selain itu, ruang partisipasi calon jemaah harus dibuka, misalnya melalui forum konsultasi publik daring yang menampung aspirasi sekaligus mengawasi implementasi kebijakan.
“Saya berharap, upaya mereformasi sistem antrean haji ini bukan sekadar soal pemerataan kuota, melainkan juga tentang keberanian menghadirkan tata kelola yang berkeadilan, inklusif, dan visioner,” tandas Fahira Idris.
Seperti diketahui, Kementerian Haji dan Umrah masih mengkaji sistem baru pembagian kuota haji yang akan dirancang agar antrean tidak sampai 40 tahun. Sistem baru ini akan membuat masa tunggu yang sama untuk semua provinsi, kabupaten, atau kota. (***)