Home > Nasional

Larangan Menjual Rokok Kepada Anak Harus Jadi Kesadaran dan Komitmen Bersama

Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat 7,4 persen perokok di Indonesia adalah anak berusia 1018 tahun.
Pedagang harus punya prinsip untuk menolak pembeli anak-anak, orang tua harus berhenti menyuruh anak membeli rokok, dan masyarakat harus berani menegur bila melihat pelanggaran. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Pedagang harus punya prinsip untuk menolak pembeli anak-anak, orang tua harus berhenti menyuruh anak membeli rokok, dan masyarakat harus berani menegur bila melihat pelanggaran. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta mendapat sorotan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta yang juga aktivis perlindungan anak Fahira Idris. Raperda yang berfokus pada tiga hal utama yaitu penentuan kawasan bebas rokok, pengaturan iklan, dan pengendalian penjualan produk tembakau, baik konvensional maupun elektronik ini sedang dalam pembahasan.

“Namun, di balik diskusi teknis tentang jarak penjualan atau aturan iklan, ada satu isu mendesak yang tidak boleh terlewat yaitu larangan penjualan rokok kepada anak-anak. Saya memohon kepada semua pihak untuk menjadikan larangan menjual rokok kepada anak sebagai kesadaran moral dan komitmen bersama. Kita bisa menyusun aturan sejauh apapun, tetapi jika tidak ada kesadaran bersama, anak-anak kita akan tetap mudah mengakses rokok,” tukas Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/09/2025) malam.

Senator Jakarta ini mengungkapkan, data Kementerian Kesehatan dan survei internasional menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat 7,4 persen perokok di Indonesia adalah anak berusia 10–18 tahun.

Bahkan, survei Global Youth Tobacco Survey mengungkapkan lebih dari 70 persen anak usia SMP bisa membeli rokok secara bebas. Lebih buruk lagi, tren usia mulai merokok semakin muda, sebagian anak sudah mengenal rokok sejak usia 9–10 tahun.

Walau Indonesia telah memiliki landasan yang jelas yaitu PP Nomor 28 Tahun 2024 yang menegaskan larangan menjual produk tembakau dan rokok elektronik kepada siapa pun di bawah usia 21 tahun, tetapi tantangan terbesar bukan hanya soal aturan, melainkan konsistensi implementasi di lapangan. Oleh karena itu, larangan menjual rokok kepada anak-anak harus lahir dari kesadaran kolektif.

Pedagang harus punya prinsip untuk menolak pembeli anak-anak, orang tua harus berhenti menyuruh anak membeli rokok, dan masyarakat harus berani menegur bila melihat pelanggaran.

Raperda KTR Jakarta memang penting untuk mengatur kawasan tanpa rokok, iklan, dan penjualan. Namun, yang jauh lebih mendesak adalah memastikan adanya penegasan larangan penjualan rokok kepada anak-anak.

Komitmen ini harus menjadi kesadaran bersama mulai dari pemerintah, pedagang, orang tua, hingga masyarakat luas.

“Perlu diingat, larangan menjual rokok kepada anak bukanlah upaya membatasi hak orang dewasa untuk merokok, melainkan langkah perlindungan bagi generasi penerus. Rokok, baik konvensional maupun elektronik, terbukti menimbulkan risiko serius terhadap kesehatan paru-paru, jantung, hingga perkembangan otak anak. Saya mohon, khususnya di Jakarta, tidak boleh lagi ada anak-anak yang bisa membeli rokok,” pungkasnya. (***)

Image
ao s dwiyantho putra

aodwiyantho@gmail.com

× Image