Home > Bisnis

Hari Tani Nasional, Petani Harus Jadi Garda Ketahanan Pangan

Menurutnya, ketahanan pangan hanya akan tergapai jika petani di seluruh Indonesia taraf hidupnya terus semakin membaik.
Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Sudah saatnya Peringatan Hari Tani Nasional setiap 24 September menjadi momen afirmasi bahwa petani adalah garda terdepan ketahanan pangan, bahkan penyelamat ekonomi saat berbagai krisis melanda. Oleh karena itu, segala kebijakan negara harus dipastikan memudahkan dan menyejahterakan petani dalam menjalankan tugas mulianya.

Demikian diungkapkan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris kepada RUZKA INDONESIA, Rabu (24/09/2025) malam. Menurutnya, ketahanan pangan hanya akan tergapai jika petani di seluruh Indonesia taraf hidupnya terus semakin membaik.

"Perlu adanya konsistensi kebijakan yang tepat, kolaborasi multi-pihak, dan komitmen politik yang kuat agar pertanian bisa kembali menjadi sektor yang menopang kedaulatan pangan nasional,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/09/2025) malam.

Senator Jakarta ini mengungkapkan, petani Indonesia menghadapi tantangan berlapis. Beberapa di antaranya adalah penyempitan lahan yang memicu meningkatnya jumlah petani gurem, kesejahteraan yang stagnan akibat keterbatasan diversifikasi usaha tani dan dampak perubahan iklim yang kian nyata dalam bentuk musim tak menentu (kekeringan hingga gagal panen).

Tantangan lain yang juga dihadapi adalah minimnya regenerasi karena pertanian dipandang tidak menjanjikan oleh generasi muda dan serta reforma agraria yang belum menyentuh redistribusi tanah secara sejati. Semua faktor ini, menurut Fahira Idris saling berkait sehingga melemahkan posisi petani sebagai fondasi ketahanan pangan nasional.

Berbagai tantangan ini, lanjutnya, membutuhkan langkah-langkah strategis dan konkret. Setidaknya ada sejumlah langkah yang patut mendapat perhatian.

Pertama, memperkuat perlindungan lahan. Peraturan tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) harus ditegakkan secara konsisten. Pemerintah daerah perlu diberi insentif fiskal apabila berhasil mempertahankan luasan sawah dan mencegah konversi.

Berikutnya, reforma agraria sejati, yaitu redistribusi tanah harus berjalan beriringan dengan penyelesaian konflik agraria. Pemerintah perlu memastikan tanah obyek reforma agraria benar-benar menyasar petani kecil, bukan sekadar memperluas sertifikasi tanpa redistribusi.

Soal adaptasi perubahan iklim, Fahira Idris menekankan pentingnya investasi riset pertanian yang diarahkan pada pengembangan varietas tahan iklim ekstrem, sistem irigasi cerdas, dan manajemen kesuburan tanah. Selain itu, program penyuluhan berbasis komunitas perlu diperkuat agar petani memiliki kapasitas adaptif.

Kemudian menjamin akses pasar yang adil di mana intervensi pemerintah dalam menjaga harga di tingkat petani harus diperkuat. Skema seperti platform digital pemasaran hasil tani atau kemitraan dengan marketplace dapat mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan komoditas impor.

Terakhir, mendorong regenerasi petani. Pertanian harus diposisikan sebagai sektor modern dan menjanjikan.

Urban farming, agroteknologi, digitalisasi pemasaran, dan skema pembiayaan kreatif (seperti Kredit Usaha Rakyat berbasis komunitas) dapat menarik minat generasi muda. Regenerasi petani juga perlu ditopang oleh pendidikan vokasi pertanian yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, inkubasi bisnis tani, serta dukungan ekosistem kewirausahaan yang memberi ruang bagi anak muda untuk berinovasi.

“Dengan menghadirkan pertanian yang berorientasi pada nilai tambah dan keberlanjutan, generasi muda tidak lagi melihat tani sebagai pekerjaan tradisional yang berat, melainkan sebagai peluang karier yang strategis, bergengsi, sekaligus berdampak besar bagi bangsa,” pungkas Fahira Idris. (***)

× Image