Home > Galeri

Battle Zone, Upaya Merawat Kesejarahan Tubuh dalam Pementasan Tari

Battle Zone berangkat dari pertanyaan: Apa yang terjadi ketika tubuh penari dihadirkan bukan hanya sebagai representasi, tetapi sebagai arsip hidup yang menyingkap warisan, kontrol, sekaligus siasat bertahan?
Pendekatan koreografi dalam karya
Pendekatan koreografi dalam karya "Battle Zone" ini bertumpu pada improvisasi korporeal yang membuka tubuh sebagai medan percakapan dengan kuasa. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Goethe-Institut Indonesien telah menghadirkan pementasan tari “Battle Zone”, karya koreografer Surabaya Puri Senja berkolaborasi dengan koreografer Jerman Martina Feiertag, di Graha Sawunggaling UNESA, Surabaya, Ahad (21/09/2025) malam. Pementasan ini hadir sebagai upaya merawat kesejarahan tubuh.

Gagasan karya ini berawal saat Puri melakukan riset di Tanzfaktur, Cologne, selama dua bulan pada 1 November-31 Desember 2023 dalam rangka program residensi REFLEKT oleh Goethe-Institut. “Battle Zone” berangkat dari pertanyaan: Apa yang terjadi ketika tubuh penari dihadirkan bukan hanya sebagai representasi, tetapi sebagai arsip hidup yang menyingkap warisan, kontrol, sekaligus siasat bertahan?

“Karya ‘Battle Zone’ adalah contoh kuat bagaimana kolaborasi lintas budaya dapat mengungkap lapisan-lapisan pengalaman yang universal, namun tetap sangat personal. Melalui karya ini, penonton diajak merenungi bahwa refleksi bukan sekadar melihat ke dalam, tetapi juga membuka percakapan yang lebih luas tentang ingatan dan resistansi,” kata Kepala Regional Program Budaya di Goethe-Institut Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr. Marguerite Rumpf, Senin (22/09/2025).

Pengalaman Puri terhadap pendisiplinan yang kaku dan berulang dirasakannya seperti intervensi militer dalam keseharian yang ia dapati di berbagai institusi, hingga memunculkan trauma atau batasan tubuh untuk melawan. Hal ini, menurutnya, terjadi di banyak orang, tetapi kesadaran untuk melawan itu yang kurang banyak orang lakukan.

“Isu ini menjadi menarik dan penting bagiku. Ketika tubuh dihadapkan dengan kenyataan di ranah publik dan domestik seperti aksi reaksi yang menyingkap warisan kuasa pendisiplinan sebagai alat untuk menentukan tubuh bergerak dan bernegosiasi. Karena bicara tari hari-hari ini juga termasuk pergerakan yang selalu ada di antara ruang publik dan intim, personal dan politis, koreografi kekuasaan yang hadir dalam tubuh dan dari luar,” ujar Puri.

Puri mengonversi pengalaman internalnya menjadi pengalaman eksternal melalui percakapan dan latihan bersama penari-penari di Jerman. Ia mengeksplorasi tema disiplin kuasa yang berwatak militeristik dalam ranah publik maupun domestik, sebagai upaya memahami bagaimana kekuasaan mempengaruhi tubuh dan cara tubuh bergerak dalam konteks sehari-hari.

Melalui riset bersama, Puri dan Martina menelaah kesejarahan kepenarian mereka masing-masing, sekaligus menyilang dengan improvisasi dijadikan strategi untuk mendengarkan: pada tubuh sendiri, pada tubuh satu sama lain, dan pada tegangan yang muncul di antaranya.

Pendekatan koreografi dalam karya ini bertumpu pada improvisasi korporeal yang membuka tubuh sebagai medan percakapan dengan kuasa. Puri dan Martina tidak menempatkan tubuhnya untuk menghadirkan bentuk yang selesai; sebaliknya, mereka membiarkan tubuh berbicara lewat tegangan, kerentanan, dan perawatan.

Dari proses ini, tubuh dihadirkan sebagai ruang yang rapuh sekaligus berdaya, senantiasa menciptakan bahasa gerak baru yang lahir dari luka, resistansi, dan perawatan. “Battle Zone” kemudian menjadi eksperimen koreografis yang mempertanyakan ulang bagaimana kuasa bekerja melalui tubuh, serta bagaimana tubuh dapat melampaui kendali itu untuk menyingkap kemungkinan yang lebih intim, spiritual, dan politis.

Penyelenggaraan pementasan tari ini turut didukung Universitas Negeri Surabaya (UNESA) sebagai mitra pelaksana, serta Sawung Dance Studio dan Dimar Dance Theatre selaku mitra riset. (***)

× Image