Home > Mancanegara

Korban Perang Thailand-Kamboja Berjatuhan, DK PBB dan Malaysia Siap Mediasi Dampak Kolonialisme Barat

Sementara Amerika Serikat, China, dan Malaysia selaku Ketua ASEAN telah menyatakan kesediaannya memfasilitasi dialog, tetapi Thailand berkeras menolak campur tangan pihak ketiga.
Tentara Thailand memeriksa daerah perbatasan dengan Kamboja di provinsi Ubon Ratchathani di mana Tentara Kerajaan Thailand mengatakan dua ranjau darat anti-personil ditemukan pada Ahad (20/7/2025). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Tentara Thailand memeriksa daerah perbatasan dengan Kamboja di provinsi Ubon Ratchathani di mana Tentara Kerajaan Thailand mengatakan dua ranjau darat anti-personil ditemukan pada Ahad (20/7/2025). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Memburuknya konflik bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja dalam dua hari, sedikitnya telah menewaskan 16 orang, serta lebih dari 130 ribu orang mengungsi. Juga dikabarkan ketegangan antar kedua negara telah menyebar ke 12 titik di perbatasan.

Upaya mediasi dari pihak ketiga ditolak, sementara Dewan Keamanan PBB bergerak cepat dengan menggelar rapat darurat.

Upaya mediasi pun ditolak Pemerintah Thailand. Penegasan penolakan terhadap mediasi internasional dalam menangani konflik bersenjata dengan Kamboja, tertuang lewat pernyataan Pemerintah Thailand bahwa penyelesaian hanya bisa dicapai melalui perundingan langsung antar kedua negara.

"Saya tidak berpikir kita memerlukan mediasi dari negara ketiga untuk saat ini," jelas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikorndej Balankura, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (19/07/2025) kemarin.

Nikorndej menambahkan, pintu dialog tetap terbuka, namun menekankan bahwa Kamboja harus terlebih dahulu menghentikan aksi kekerasan di perbatasan.

Sementara Amerika Serikat, China, dan Malaysia selaku Ketua ASEAN telah menyatakan kesediaannya memfasilitasi dialog, tetapi Thailand berkeras menolak campur tangan pihak ketiga.

Sedangkan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Kamboja, Prak Sokhonn, menegaskan bahwa dalam krisis tersebut negaranya mendorong penyelesaian damai berdasarkan hukum internasional. Ia mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Hun Manet telah mengirim surat kepada Presiden Dewan Keamanan PBB dan Perdana Menteri Malaysia untuk mendorong pembahasan gencatan senjata.

"Kami menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri Malaysia atas upayanya menjalin komunikasi langsung dengan pimpinan kedua negara," ujar Prak di depan korps diplomatik di Phnom Penh, Kamis (24/07/2025).

Prak pun mengakui jatuhnya korban di wilayah Kamboja, namun belum bisa dipastikan jumlahnya. Bahkan warga setempat, baik lokal maupun asing, diimbau untuk menghindari Provinsi Oddar Meanchey dan Preah Vihear yang menjadi zona konflik.

Dengan memburuknya situasi di perbatasan kedua negara tersebut, Dewan Keamanan PBB menggelar rapat darurat tertutup pada Jumat (25/07/2025), berdasarkan permintaan resmi dari Perdana Menteri Kamboja Hun Manet.

Walau agenda rinci belum diumumkan, sumber di kalangan diplomatik menyebut fokus diskusi lebih dititikberatkan pada upaya menghentikan kekerasan dan mendorong gencatan senjata.

Sementara kantor berita Reuters dalam laporannya mengungkapkan, setidaknya 16 korban tewas dalam dua hari konflik. Rinciannya terdiri dari 14 korban di pihak Thailand (13 warga sipil dan satu tentara) serta satu korban tewas dan lima luka-luka di pihak Kamboja.

Seperti diketahui, bentrokan bersenjata Thailand dan Kamboja dilaporkan telah meluas ke 12 titik perbatasan. Pemerintah Thailand melaporkan telah mengevakuasi lebih dari 100.000 warga dari empat provinsi ke hampir 300 titik penampungan.

Pecahnya konflik antara kedua negara merupakan yang paling berdarah dalam satu dekade terakhir yang melibatkan jet tempur, tank, dan artileri berat. Tudingan Thailand bahwa pasukan Kamboja telah melancarkan serangan ke wilayahnya, termasuk di sekitar kuil kuno yang menjadi sengketa sejarah.

Jet tempur F-16 yang dikerahkan militer Thailand sebagau balasan serangan terhadap target-target militer di Kamboja. Semakin meningkatnya ketegangan sejak insiden perbatasan pada Mei lalu yang menewaskan seorang tentara Kamboja.

Konflik dua negara ASEAN tersebut mengundang komentar Menteri Luar Negeri China, Wang Yi. Dia menyebut akar konflik Thailand-Kamboja berasal dari dampak kolonialisme Barat. Menurutnya, pihaknya siap memainkan peran konstruktif untuk meredakan situasi.

"Masalah ini berakar dari konsekuensi peninggalan penjajah Barat. Sekarang harus dihadapi dan diselesaikan dengan tepat," papar Wang ketika bertemu Sekjen ASEAN Kao Kim Hourn di Beijing, seperti dilansir dari pernyataan resmi Kemlu China.

Konflik bermula dari klaim Kamboja terhadap wilayah berdasarkan peta tahun 1907 yang dibuat kolonial Prancis, yang serta merta dianggap Thailand peta itu tidak akurat.

Melihat perkembangan kemelut kedua negara ASEAN tersebut yang belu mereda, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memastikan Pemerintah RI terus memantau secara aktif kondisi keamanan di Thailand dan Kamboja sekaligus memastikan keselamatan WNI di dua negara tersebut.

"Kami sudah langsung berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk memastikan bahwa saudara-saudara kita yang tinggal di sana aman dan termonitor," ujar Prasetyo, Jumat (25/07/2025).

Menurut Prasetyo, mitigasi seperti penyediaan informasi terkini dan jalur komunikasi darurat telah disiapkan untuk menghadapi situasi terburuk.

Sementara Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, selaku Ketua ASEAN yang aktif menjadi mediator antara kedua negara, mengabarkan Thailand dan Kamboja telah sepakat melakukan gencatan senjata.

Seperti dilansir Malaysiakini, Jumat (25/07/2025), Anwar menjelaskan bahwa kedua negara meminta waktu untuk melaksanakan gencatan senjata. Hal itu didasari keberadaan pasukan militer masing-masing yang sudah telanjur dikerahkan ke area perbatasan.

Menurut Anwar, Thailand dan Kamboja masih membutuhkan waktu untuk menarik pasukan militernya masing-masing. (***)

× Image