Adakah Korupsi Rp 1,25 triliun di ASDP?

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kamis 10 Juli 2025, istri saya Ira Puspadewi diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Mereka direksi PT ASDP Indonesia Ferry saat BUMN ini membeli PT Jembatan Nusantara Rp 1,27 triliun tahun 2022. Kini mereka didakwa korupsi Rp 1,25 triliun.
Satu seperempat triliun rupiah bukan angka sedikit. Dapat membuat orang menyangka mereka bertiga mungkin memang korupsi atau mengambil uang negara sehingga diadili. Tetapi alhamdulillah Ira, Yusuf, dan Harry bukan orang seperti itu.
Jaksa tidak mendakwa korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Artinya Ira, Yusuf, dan Harry memang tidak korupsi atau mencuri uang negara walaupun sudah lima bulan mereka ditahan.
Foto-foto mereka yang diborgol dan mengenakan rompi oranye juga sudah disebarkan.
Baca juga: Selamat Datang Hari Puisi Indonesia sebagai Hari Besar Nasional
Jaksa mendakwa mereka memperkaya orang lain. Hal yang tidak masuk akal bagi kami. “Buat apa Ira, Yusuf, dan Harry mengorbankan martabat, karir, dan nama baik sendiri demi memperkaya orang lain?” Di dunia ini apakah ada orang yang seperti itu?
Ira, Yusuf, dan Harry tidak berbuat jahat apapun. Bersama direksi lain mereka justru bekerja keras agar ASDP besar dan kuat. Agar bisnis berkembang dan pelayanannya semakin baik. Termasuk pelayanan pada warga di pelosok daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Membeli atau mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) menjadi bagian dari upaya itu. Dalam teori dan praktik bisnis dunia, akuisisi serta merger terbukti merupakan cara paling efektif mengembangkan usaha. Dengan akuisisi, bisnis akan berkembang cepat dalam waktu singkat.
Baca juga: Catatan Cak AT: Impor GMO, Impor Penyakit
JN terbuka untuk diakuisisi. Pesaing utama ASDP ini satu-satunya perusahaan besar feri yang dijual. JN memiliki 53 kapal komersial. Jumlah kapalnya di lintasan besar Merak-Bakauheni lebih banyak dari kapal ASDP. Belum lagi feri jarak jauhnya yang ASDP tidak punya.
Dengan mengakuisisi JN pangsa pasar ASDP meningkat pesat. Menjadi 33,5 persen, hingga ASDP tak mudah digeser pesaing. Di penerbangan, posisi BUMN pemimpin pasar telah tergeser pesaing. Manajemen ASDP berhasil menjaga hal itu tak terjadi di penyeberangan.
Jumlah kapal komersial ASDP melonjak 70 persen setelah akuisisi. Dari 73 menjadi 126 kapal. Penting buat mensubsidi layanan Perintis. Keberlangsungan Perintis masih rawan. Saat layanan ini terganggu, harga sembako di daerah 3T dapat bergejolak. Perintis ini merugi, perlu disubsidi.
Baca juga: Terang Aksara Empowerment, Program Pemberdayaan Disabilitas PLN Jakarta bersama Pemprov DKI Jakarta
Selain itu, akuisisi juga membuat ASDP mendapat tambahan bisnis yang langsung menghasilkan _cash._ Bukan kapal melainkan bisnis yang dibeli dalam akuisisi. Termasuk izin operasional/trayek yang dibatasi karena sudah penuh. Juga SDM, sistem, serta tentu pasar dan prospeknya.
***
Begitu strategis nilai akuisisi itu pada ASDP. Maka seluruh direksi, komisaris, hingga Menteri BUMN pun menyepakatinya. Proses akuisisi didampingi Jamdatun dan BPKP, juga melibatkan konsultan serta KJPP resmi seperti PwC, hingga PT BKI (Persero), dan PT SMI (Persero).
Melalui proses panjang, ASDP pun berhasil mengakuisisi JN. Valuasi perusahaan itu sebesar Rp 1,341 triliun. ASDP membelinya Rp 1,272 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun mengaudit investasi ini, dan menyebutnya wajar. Tidak ada kejanggalan apalagi korupsi.
“Dengan akuisisi ini ASDP akan menjadi operator feri terbesar di dunia,” kata Menteri Erick Thohir saat itu. Benar, ASDP pun kokoh menjadi perusahaan feri terbesar di dunia. Tak banyak BUMN bisa menjadi perusahaan terbesar di dunia di bidangnya seperti ASDP.
Setelah akuisisi, ASDP meraih laba tertinggi sepanjang sejarah. Itupun terjadi setelah manajemen menaikkan kesejahteraan karyawan hingga 40 persen. ASDP juga menjadi BUMN nonpublik penyumbang deviden terbesar ke-7. Padahal ASDP bukan BUMN besar.
Sukses akuisisi itu menggenapi keberhasilan ASDP sebelumnya. Seperti membangun kawasan _waterfront_ Labuhan Bajo dan Bakauheni; revitalisasi layanan feri Danau Toba; tentu juga transformasi penyeberangan. Transformasi ASDP pun mulai disandingkan dengan KAI.
Semua pencapaian itu membuat ASDP lebih terpandang. ASDP tidak lagi dipandang sebagai BUMN pinggiran. Tetapi dari sinilah masalah datang. Manajemen ASDP difitnah seolah membeli kapal-kapal tua, rongsok, tidak ekonomis, serta harganya kemahalan.
Menyoal usia kapal tidak relevan. Rata-rata usia feri Indonesia 30-40 tahun. Di Amerika, feri MV Tillikum 67 tahun juga masih beroperasi. Penilaian kapal bukan berdasar usia tapi status Laik Laut dan Laik Layarnya. Kapal juga selalu diremajakan bagian-bagiannya saat docking tahunan.
Kemahalan? Bisnis itu dibeli seharga Rp 1,27 triliun. Langsung memberi pendapatan Rp 1,8 triliun dalam tiga tahun. Harga 53 kapal berbobot 99 ribu GRT saja Rp 2,2 trilliun. Rp 22,5 juta per GRT. Belum lagi nilai izin operasi yang dibatasi Permenhub No 104 tahun 2017.
Baca juga: UI dan PT KAI Soroti Upaya Konservasi Geopark dan Pelestarian Elang Jawa
Akuisisi terbukti sangat strategis bagi ASDP. Tetapi manajemen ASDP malah diadukan ke KPK. Ira dan kawan-kawan satu setengah tahun diperiksa di penyelidikan. Tim KPK profesional. Jika benar ada korupsi, pasti ketemu bukti. Tidak ada bukti karena memang tidak ada korupsi.
Perkara semestinya berhenti di situ. Namun justru ditarik ke penyidikan. Fitnah pun terfasilitasi oleh ego satu dua orang di sana. “Ada transaksi Rp 1,27 triliun, mustahil tidak ada korupsi.” Mungkin begitu asumsinya. Potret low trust society bangsa kita pun mengemuka.
Prasangka masih dikedepankan. Dalam penegakan hukum sekalipun. Ira, Yusuf, dan Harry pun dijadikan tersangka. Lalu ditahan. Tanpa bukti aliran dana korupsi menurut PPATK. Tanpa bukti kerugian negara menurut BPK atau BPKP. Apakah begitu cara memberantas korupsi?
Baca juga: Gelaran Pertamax Turbo Drag Fest 2025 Putaran I Sukses di Yogyakarta
***
Ban berjalan mesin hukum sudah berputar. Nasib Ira, Yusuf, dan Harry sudah dilemparkan ke ban berjalan itu. Dianggap pantang dihentikan. Prinsip yang tidak benar dan tidak baik dalam hukum ditegakkan. Yakni bahwa “pokoknya tersangka harus salah.”
Untuk itu harus direka-reka narasi. Serpihan-serpihan fakta kecil dikumpulkan. Dirangkai menjadi narasi baru. Seolah-olah Ira, Yusuf, dan Harry telah bermufakat jahat, melakukan perbuatan melawan hukum hingga merugikan negara. Tinggal dicarikan bukti.
Wewenang BPK atau BPKP dianggap tak perlu lagi untuk mendapatkan bukti. Ada auditor yang bisa diminta menghitung sendiri. Lahirlah angka rugi Rp 1,25 triliun, atau 98 persen dari nilai akuisisi Rp 1,27 triliun. Dengan logika sederhana pun kita tahu angka kerugian negara itu dusta.
Baca juga: Pengasuh dan Alumni Ponpes Babakan Layangkan Maklumat atas Kebijakan Gubernur Jabar
Bukan hanya BPK dan BPKP, Tuhan pun kini diabaikan. Benarkah ada kerugian Rp 1,25 triliun dari nilai pembelian Rp 1,27 triliun? Jika benar, berarti nilai JN hanya sekitar Rp 20 miliar. Padahal JN tetap beroperasi dan menghasilkan pendapatan Rp 600 miliar per tahun.
Adakah perusahaan Rp 20 miliar berpendapatan Rp 600 miliar per tahun atau Rp 1,800 miliar selama tiga tahun sejak dibeli? Kami yakin hati nurani penyidik, auditor, hingga jaksa tahu persis jawaban sebenarnya. Tetapi ban berjalan mesin hukum sudah berputar.
Dalam mesin hukum tidak ada hati nurani. Padahal hukum tanpa hati nurani tidak akan sampai pada keadilan dan kebenaran sesungguhnya. Hanya akan ditunggangi pemfitnah. Lalu oleh ego satu dua orang pemburu prestasi atau materi. Mesin itu yang kini mendominasi negeri ini.
Bukan hanya Ira, Yusuf, Harry, serta keluarga korbannya. Telah dan akan banyak lagi yang dimangsa. Kerusakan akibatnya bisa fatal. Profesionalitas, bisnis, hingga prakarsa baik akan mengerdil. Keadilan dan kebenaran bisa mati. Ketika itu terjadi, akan menjadi apa negeri ini?
“Kami yakin Bu Ira tidak bersalah.” Simpati itu kami dengar beberapa kali. Dari orang berbeda di lingkungan KPK. Yusuf dan Harry pun menerima ucapan serupa. Meskipun tidak menghentikan perkara, simpati itu menjadi penyemangat dan doa: Kebenaran akan tiba pada saatnya.
Demi Allah tidak ada korupsi sama sekali dalam akuisisi ini. Hidup kita tidak lama, semua akan mati, neraka dan surga pasti menanti. Sudah saatnya kita lebih berserah diri dan menumbuhkan hati nurani hingga adil dan benar menjadi jiwa kita semua termasuk seluruh pemangku hukum di negeri yang kita cintai ini. InsyaAllah!
Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir. (***)
Jakarta, 23 Juli 2025.
Penulis oleh: Zaim Uchrowi/Wakil keluarga Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono