Home > Nasional

Senator Dukung Sekolah Rakyat yang Memutus Rantai Kemiskinan Struktural Warisan Antargenerasi

Sekolah Rakyat juga diharapkan melampaui pendekatan sekolah reguler karena menawarkan pengasuhan holistik, penguatan karakter, serta pelatihan vokasional.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Program Sekolah Rakyat yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto mendapat dukungan Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta Fahira Idris. Selain lebih dari sekadar penyediaan pendidikan gratis, Sekolah Rakyat menjanjikan sebuah transformasi sosial dengan memberdayakan generasi yang terpinggirkan untuk memutus rantai kemiskinan struktural yang telah diwariskan antargenerasi.

Senator Jakarta ini berharap, Sekolah Rakyat tak hanya mengatasi kendala biaya, tetapi juga akses, gizi, dan bimbingan karakter. Selain itu, model Sekolah Rakyat juga diharapkan melampaui pendekatan sekolah reguler karena menawarkan pengasuhan holistik, penguatan karakter, serta pelatihan vokasional.

“Sekolah Rakyat dalam hemat saya adalah kehadiran negara dalam bentuk paling konkret yaitu pendidikan, makanan atau pemenuhan gizi dan tentunya harapan. Oleh karena itu, perlu dipastikan dalam implementasinya mengedepankan pendekatan inklusif, pelibatan lokal, dan kesadaran kemanusiaan sebagai landasan utamanya,” ujar Fahira Idris dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (28/06/2025).

Setidaknya, lanjut Senator yang juga pemerhati pendidikan ini, terdapat empat catatan dan rekomendasi terkait program Sekolah Rakyat. Pertama, keterlibatan komunitas. Sekolah Rakyat idealnya tidak menjadi program top-down yang bersifat birokratis.

Keberhasilan model seperti Sekolah Alam atau Pesantren, misalnya, terletak pada keterlibatan aktif komunitas dalam pengelolaan, pemaknaan, dan keberlangsungan sekolah. Untuk itu penting, pelibatan masyarakat dalam penyesuaian kurikulum dengan konteks lokal (kearifan desa, budaya, potensi ekonomi lokal).

Kedua, kualitas dan kuantitas guru. Masalah kekurangan guru bukan hal baru terutama di daerah 3T.

Oleh karena itu, penempatan guru di Sekolah Rakyat harus mempertimbangkan lebih dari sekadar jumlah. Dibutuhkan tenaga pendidik dengan kompetensi pedagogis tinggi dan kesanggupan bekerja dalam kondisi menantang.

Fahira Idris memandang perlu skema rekrutmen khusus yang mengombinasikan ASN, P3K, dan guru komunitas lokal. Selain itu, perlu diterapkan insentif dan dukungan psikososial bagi guru yang bertugas di lokasi terpencil.

Ketiga, kurikulum yang kontekstual agar Sekolah Rakyat idealnya mampu menjawab realitas lokal melalui kurikulum pendidikan yang relevan. Untuk itu, kurikulum yang diterapkan hendaknya memadukan akademik, vokasional, karakter, dan kewirausahaan lokal.

Terapkan juga sistem multi-entry dan multi-exit untuk menjangkau anak putus sekolah. Pendidikan nilai (spiritualitas, nasionalisme, kepemimpinan) secara praktikal juga menjadi hal yang utama.

Keempat, menjadi jembatan sosial di mana Sekolah Rakyat harus dirancang sebagai jembatan sosial, bukan benteng segregasi yang memisahkan, tetapi untuk memberikan titik tolak bagi pemerataan pendidikan secara menyeluruh. Oleh karena itu, penting tetapkan standar mutu minimum nasional untuk seluruh sekolah rakyat, termasuk rasio guru-siswa, fasilitas belajar, dan kurikulum.

Adakan juga akreditasi berkala dengan indikator keadilan sosial, bukan hanya akademik.

“Saya berharap Sekolah Rakyat menjadi wajah pendidikan yang tidak sekadar inklusif secara administratif, tetapi juga inklusif secara sosial dan budaya,” pungkas Fahira Idris.

Seperti diketahui, program Sekolah Rakyat tahap pertama akan dimulai dengan masa orientasi pada pertengahan Juli tahun ini. (***)

× Image