Skincare Halal 2026: Perlindungan Umat dan Tantangan Industri Kecantikan Indonesia

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kekhawatiran masyarakat terhadap maraknya peredaran skincare tanpa sertifikasi halal kian meningkat. Terlebih lagi, beberapa produk bahkan mengandung zat berbahaya seperti merkuri.
Hal ini mendorong Anggota Komite III DPD RI asal Jawa Barat, Agita Nurfianti, untuk mempertanyakan jaminan kehalalan produk skincare kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pertanyaan tersebut disampaikan Agita dalam Rapat Kerja Komite III bersama BPJPH di Kantor DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (08/05/2025).
Baca juga: Mengulik Makna Kongres Tinggal Kukuhkan Megawati jadi Ketum
Menurut Agita, skincare telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat, terutama umat Islam. Karena produk ini menempel langsung di kulit, kehalalannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Skincare yang tidak halal bisa mempengaruhi keabsahan ibadah. Ini bukan perkara ringan, tapi soal keyakinan dan ketaatan,” ujar Agita.
Dia juga menyoroti produk seperti hand and body lotion yang selama ini sering luput dari perhatian, padahal beberapa di antaranya mengandung bahan turunan babi.
Baca juga: Sertifikasi Halal Dorong UMKM Tumbuh dan Lindungi Konsumen, Antara Harapan dan Tantangan
Menanggapi hal tersebut, Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hasan menyampaikan bahwa skincare akan diwajibkan bersertifikat halal mulai tahun 2026. BPJPH pun sudah menjalin kerja sama erat dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan aspek kehalalan dan keamanan produk berjalan beriringan.
“Skincare memang akan diwajibkan halal di 2026. Tapi dari sekarang, prosesnya sudah mulai. Karena di media sosial sudah ramai, muncul istilah ‘mafia skincare’ dan isu lainnya,” jelas Haikal.
Ia juga menekankan perbedaan peran antara BPJPH dan BPOM. “Merkuri itu halal, tapi tidak baik. Tugas kami memastikan halal atau tidaknya. Kalau soal aman atau tidak, itu ranah BPOM,” tegasnya.
Baca juga: Menuju Swasembada Protein, Harapan Baru dari Cikampek
Haikal mengutip Al-Baqarah ayat 168, yang menyerukan umat Islam untuk mengonsumsi apa yang halal dan baik, serta menjauhi langkah-langkah setan. Prinsip inilah yang menjadi dasar kerja sama antara BPJPH dan BPOM.
“Jadi selama kami berjalan seiring, insyaallah tidak ada kekhawatiran. Halal kami yang urus, baik atau tidak BPOM yang tangani,” tutup Haikal.
Sertifikasi halal bukan hanya kewajiban syariah, tapi juga menjadi nilai tambah di pasar. Konsumen, baik Muslim maupun non-Muslim, semakin peduli dengan transparansi dan etika dalam proses produksi. Hal ini menciptakan peluang bagi industri skincare Indonesia untuk tumbuh dengan lebih bertanggung jawab.
Dengan adanya regulasi yang jelas dan sinergi antar-lembaga, harapannya masyarakat tak hanya merasa aman menggunakan skincare, tapi juga mendapatkan ketenangan dalam menjalani ibadah. (***)
Reporter: Bambang Priambodo/RUZKA INDONESIA