Penyusunan RAPBN TA 2026, Pentingnya Sinergi Pusat dan Daerah dalam Perencanaan Pembangunan serta Kebijakan Fiskal

RUZKA—REPUBLIKA NETWORK — Sejumlah permasalahan yang muncul berulang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Kerangka Ekonomi Makro serta Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) yang akan menjadi dasar penyusunan RAPBN. Permasalahan itu antara lain ketidaksesuaian antara prioritas pusat dan daerah, kendala anggaran, keterlambatan perencanaan, serta lemahnya koordinasi antar-instansi.
Hal itu diungkapkan oleh Anggota DPD RI Fahira Idris di sela Diskusi Kelompok Terarah/FGD Inventarisasi Materi Penyusunan Rekomendasi DPD RI terhadap RKP Tahun 2026 dan Pertimbangan terhadap KEM-PPKF dalam RAPBN TA 2026 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, Padang, Kamis (17/04/2025).
"Kita perlu perencanaan pembangunan serta kebijakan fiskal yang lebih responsif dan inklusif. Artinya, pembangunan tidak bersifat top-down semata, tetapi juga mengakomodasi prioritas lokal, sejalan dengan semangat otonomi daerah dan pembangunan yang inklusif," ujar Fahira Idris.
Fahira mengungkapkan setidaknya ada lima rekomendasi atau langkah strategis yang bisa ditempuh agar perencanaan pembangunan serta kebijakan fiskal yang lebih responsif dan inklusif. Pertama, penguatan sinkronisasi RKP-RKPD dilandasi kesenjangan antara RKP dan RKPD yang masih menjadi hambatan dalam efisiensi pembangunan.
Untuk itu, RKP perlu disusun lebih awal dengan melibatkan pemangku kepentingan daerah sejak awal agar prioritas nasional selaras dengan kebutuhan lokal. Selain itu, diperlukan platform digital terintegrasi pusat-daerah untuk koordinasi dan pemantauan pembangunan secara real-time dan berbasis data.
Kedua, penyesuaian skema TKD. Menurut Fahira Idris Skema TKD perlu direvisi menjadi lebih fleksibel dan berbasis kebutuhan aktual. Penyesuaian ini juga diharapkan menekankan pendekatan bottom-up dalam perencanaan anggaran, serta penguatan Dana Insentif Daerah (DID) yang didasarkan pada kinerja nyata dan inovasi kebijakan daerah, termasuk di bidang pelayanan publik, digitalisasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, peningkatan kapasitas perencanaan daerah yang masih terdapat ketimpangan kapasitas teknis antar daerah dalam menyusun perencanaan. Diperlukan program pelatihan dan pendampingan teknis yang melibatkan perguruan tinggi dan institusi riset lokal, khususnya bagi daerah dengan kapasitas terbatas. Kolaborasi antara Bappeda dan lembaga riset juga perlu diberi insentif guna membangun ekosistem pengetahuan lokal dan memperkuat kebijakan berbasis bukti.
Keempat, penajaman proyeksi ekonomi dan skenario kebijakan diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian global. Ini artinya, lanjut Fahira, KEM-PPKF perlu disusun dengan skenario alternatif yang mencakup risiko seperti gejolak geopolitik, perubahan iklim, dan fluktuasi harga komoditas.
Selain itu, proyeksi ekonomi juga harus mempertimbangkan karakteristik sektoral daerah, khususnya yang bergantung pada sektor seperti pertanian dan pariwisata, agar kebijakan fiskal lebih kontekstual dan responsif.
Kelima, mekanisme partisipasi publik dalam penyusunan KEM-PPKF yang menekankan pentingnya KEM-PPKF disusun secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, pelaku usaha, dan perwakilan daerah secara sistemik dan berkelanjutan.
“Masukan dari daerah harus diakomodasi secara formal dan terdokumentasi agar kebijakan fiskal nasional menjadi lebih inklusif, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat,” tandas Fahira Idris. (***)