Home > Kolom

Catatan Cak AT: PR Besar Bedah Demokrasi

Demokrasi kita sekarang, kalau diibaratkan makanan, sudah basi tapi tetap dipajang manis di etalase restoran.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: PR Besar Bedah Demokrasi. (Foto: Dok RIZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: PR Besar Bedah Demokrasi. (Foto: Dok RIZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada satu hal yang lebih berbahaya daripada korupsi di negeri ini: menunda perubahan. Apalagi kalau yang ditunda itu perubahan sistem politik yang sudah sejak lama minta pensiun dini, tetapi terus dipaksa tampil di pentas nasional.

Presiden Prabowo Subianto, yang belum lama diantarkan ke Istana dengan tiket emas Koalisi Indonesia Maju, kini punya modal lebih dari cukup untuk melakukan bedah besar-besaran terhadap demokrasi ala Indonesia.

Demokrasi kita sekarang, kalau diibaratkan makanan, sudah basi tapi tetap dipajang manis di etalase restoran.

Kini saatnya Prabowo memulai, bukan hanya karena dukungan politiknya yang kuat, tapi juga karena momentum yang sedang terbuka lebar.

Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai misalnya, sudah membatalkan aturan ambang batas 20 persen suara sebagai syarat pencalonan presiden, sesuatu yang dulu membuat Pilpres terasa seperti pesta eksklusif para pemilik klub sepakbola, bukan hajatan rakyat.

Baca juga: Catatan Cak AT: Adolescence, Mengaduk Mimpi Buruk Orang Tua

Kita tahu, dalam waktu kurang dari empat tahun, pada 2029 Indonesia akan kembali menggelar Pemilu lagi.

Jika pembenahan baru dimulai dua atau tiga tahun lagi, itu sama saja seperti memperbaiki kapal setelah layar sobek dan ombak sudah menelan dek. Maka, tidak ada pilihan lain selain memulai dari sekarang.

Kita semua juga sudah tahu dan menyadari sesadar-sadarnya, sistem politik kita sekarang ini lebih sering menghasilkan pertunjukan mahal daripada pemerintahan bermutu.

Partai politik bermunculan seperti cendawan di musim hujan, tapi seringkali lebih mirip pabrik pencetak politisi pragmatis daripada jadi rumah gagasan bangsa.

Demokrasi kita, yang semestinya menjadi ruang adu gagasan, berubah menjadi pasar malam adu popularitas.

Baca juga: Catatan Cak AT: Rumus Instan Tarif Imbal-Balik Trump

Sementara itu, biaya Pemilu yang mencapai puluhan triliun rupiah tetap menguap, meninggalkan rakyat yang heran: mana hasilnya? Biaya Pemilu 2024 yang mencapai Rp 70 triliun lebih itu bisa untuk bangun 70 ribu ruang kelas baru.

Banyak suara dalam diskusi-diskusi serius — dari forum akademik sampai grup WhatsApp alumni pesantren — yang menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah salah arah.

Sebagian bahkan dengan getir menyebut sistem ini sebagai musibah yang menghabiskan energi, apalagi ketika sistem pendidikan dan ekonomi justru berjalan compang-camping.

Melihat negara-negara lain di dunia, mulai dari Cina, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, hingga Singapura, banyak yang menggoda dengan cerita manis tentang betapa efisiennya pemerintahan model emirat, kesultanan, atau republik "semi-otoriter" yang dipimpin dengan tangan kuat dan amanah. Amerika Serikat juga sepertinya mulai dibawa Presiden Donald Trump ke republik yang agak otoriter juga.

Baca juga: Kehabisan Tiket di Bengkulu, Presiden Prabowo Jemput Asprinya dengan Pesawat Kepresidenan

Namun seperti kata Lee Kuan Yew, pendiri Singapura modern, soal kemajuan negara bukan semata perkara memilih antara demokrasi atau otoritarianisme, melainkan soal memilih antara good governance atau bad governance. Ironisnya, Indonesia justru terjebak dalam demokrasi semu dengan governance yang, maaf saja, seringkali lebih mirip acara dagelan daripada tata kelola negara.

Presiden Prabowo tentu paham, memperbaiki sistem bukan berarti menggulingkan demokrasi, tetapi menyelamatkannya. Yang perlu diperbaiki adalah fondasinya.

Prabowo bisa mulai dari sistem kepartaian yang mungkin harus disederhanakan agar lebih sehat dan rasional, sistem Pemilu yang harus lebih murah dan bersih, sistem pemilihan kepala daerah yang harus menghindari jebakan politik transaksional, hingga sistem pemilihan presiden yang harus membuka ruang bagi lebih banyak tokoh bermutu untuk tampil, bukan hanya mereka yang punya modal besar.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Sejarah tidak pernah menunggu orang yang ragu-ragu. Bila Presiden Prabowo sungguh ingin meninggalkan warisan besar, bukan sekadar mencatatkan diri sebagai pemenang Pilpres, inilah saatnya.

Mengubah sistem politik Indonesia agar lebih bermartabat, lebih efisien, lebih adil, dan benar-benar melayani rakyat, bukan memperalat rakyat.

Baca juga: Ini 5 Kata Mutiara Ainun ke Suami Tercinta, yang Menjadi Penyemangat Habibie

Empat tahun itu sebentar. Negara ini tidak butuh janji-janji baru lagi, dan rakyat sudah bosan dikibuli. Negara dan bangsa ini butuh tindakan nyata.

Maka, Presiden Prabowo, mari kita mulai dari sekarang, sebelum semuanya terlambat dan kita lagi-lagi hanya bisa menyesal sambil minum kopi seraya mengeluh, "Kenapa dulu tidak segera dibenahi?"(***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 8/4/2025

× Image