Home > Galeri

Saresehan Seniman Perempuan, Tunjangan Perekonomian Bagi Seniman dan Sastrawan Indonesia agar Tetap Berkarya

Dalam serasehan ini kecenderungan ketidakadilan perlakuan perempuan dibicarakan dengan gamblang.
Sarasehan Seniman Perempuan yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (04/03/2025). (Foto: Dok Fanny J Poyk) 
Sarasehan Seniman Perempuan yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (04/03/2025). (Foto: Dok Fanny J Poyk)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kegiatan yang diberi nama Sarasehan Seniman Perempuan yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (04/03/2025).

Kegiatan ini diikuti oleh hampir 50 peserta perempuan dari beragam komunitas seni yang tersebar di seluruh Jakarta. Mereka berkecimpung di berbagai kegiatan seni, seperti teater, film, juga penulis yang aktif di berbagai kegiatan sastra.

Dalam serasehan ini kecenderungan ketidakadilan perlakuan perempuan dibicarakan dengan gamblang.

Sebab perempuan merupakan tonggak utama dari berdirinya sebuah generasi, dari rahimnya akan lahir mahluk-mahluk penerus bangsa dengan ragam kualitas yang berdampak luas bagi majunya sebuah negara.

Narasi ini bukan sekedar kata-kata tanpa makna, namun memiliki pengertian yang dalam dari sebuah perenungan yang tak bisa hanya dilihat dari tampilan sesaat.

Kumpulnya para perempuan di simpul seni dan sastra, melahirkan beragam permasalahan yang terjadi di antara mereka, khususnya yang berkaitan erat dengan kegiatan mereka di bidang seni sastra, seni film, teater juga budaya daerah, modern serta kontemporer.

Penyampaian pendapat dari beragam perempuan dengan beragam profesi yang mencerminkan bahwa tingkat intelektualitas mereka tak bisa dianggap sebelah mata ini.

Kemudian menghasilkan beragam makna dari beragam narasi yang pada akhirnya akan dikumpulkan dan disimak serta dipertimbangkan kelak menjadi sebuah perhatian dan rumusan yang sengat berguna bagi generasi mudah selanjutnya, khususnya mereka yang bernama perempuan.

Topik yang menjadi pembicaraan mencakup beragam hal, mulai dari pelecehan seksual, kesetaraan gender, KDRT, seni sastra, teater, hingga masalah perekonomian yang berkelanjutan bagi pelaku seni juga penulis sastra di Indonesia.

Beragam topik ini menjadi bahan pemikiran yang penting sebab ujung tombak majunya sebuah bangsa bisa terlihat juga dari maju dan diperhatikannya simpul-simpul seni dan sastra serta budaya yang berkembang pesat di berbagai provinsi yang ada di Indonesia.

Diharapkan perhatian pemerintah pada jejaring dan komunitas seni dan sastra harus lebih intens lagi. Khususnya para penulis lawas dan para pekerja seni dan teater yang telah malang melintang di dunia yang mereka tekuni.

Tak jarang kehidupan dan kiprah total pada dunia yang mereka tekuni itu, membuat banyak dari mereka hidup bersama perekonomian yang memprihatinkan, terlebih lagi mereka yang di hari tuanya tidak memiliki pensiun serta tidak memiliki pekerjaan dengan gaji tetap.

Hidup total di ranah seni dan budaya memang memiliki sebuah tanggungjawab yang total untuk mengantar dunia literasi serta tetater dan film agar semakin luas dikenal oleh Gen Z yang millennial.

Namun tak jarang hal yang paling hakiki juga terlupakan, ketika perekonomian yang diperoleh tidak seimbang, maka anak-anak dan istri akan mengeluh dengan ungkapan “hari ini mereka akan makan apa?”

Ketidakseimbangan ini, pada akhirnya menjadikan para seniman itu tidak bisa lagi total di dalam berkarya. Jika negeri di luar sana pemerintahnya sangat menghargai keberadaan para sastrawan dan senimannya melalui pemberian fasilitas yang mampu membuat mereka terus berkarya, seharusnya di Indonesia juga demikian.

Karena karya sastra dan seni lainnya merupakan karya-karya yang adi luhung, humanis dan mengangkat budaya negeri sendiri untuk dikenal luas di manca negara.

Sekali nama Indonesia dikenal apabila karya sastra yang penulisnya memenangkan Nobel, maka selamanya nama negara kita akan terpatri dan tercatat di benak para intelektual sastra serta media elektronik maupun non elektronik.

Begitu pula dengan dunia perfilman dan teater. Semua menjadi alat ampuh untuk lebih mengangkat harkat dan martabat negeri kita tercinta ini di mata dunia.

Dan betapa mirisnya apabila terjadi yang seperti sekarang ini, di mana banyak penulis bekerja secara indie atau independen. Mereka banyak yang menulis sendiri karya-karya sastra mereka, mencetak sendiri dan menjualnya sendiri.

Hal ini berlaku pula di kelompok-kelompok seni pertunjukkan yang berjuang sendiri memperkenalkan dunia mereka pada para generasi muda.

Dari sarasehan ini, juga terdengar ucapan bagaimana perjuangan para pelaku dunia perfilman dan teater berjuang untuk memperkenalkan seperti apa sosok Indonesia ke mancanegara dengan dana yang mereka cari sendiri melalui para sponsor.

Di akhir sarasehan yang lebih mengarah ke ranah curahan hati ini, sang penyelenggara dari Komite Seni Rupa dan Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta Aquino Hayunta, Imam Ma’arif serta para pemerhati keberadaan perempuan di Indonesia seperti Olin Monteiro, Dolorosa Sinaga, Dr. Citra Smaraa Dewi, Devi Matahari, Ni Made Sri Andani, Fatin Hamama, Fanny J. Poyk, Rissa Churria dan kawan-kawan.

Dengan kegiatan ini berharap ada hasil yang menggembirakan yang bisa memberikan solusi terbaik untuk dunia seni dan juga sastra di Indonesia, jadi bukan hanya ucapan yang menguap ditelan angin dan hujan di bulan Maret semata. Semoga! (***)

Penulis: Fanny J Poyk/Sastrawati

× Image