Catatan Cak AT: Kapitalisme, Tapi Religius

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ah, kapitalisme religius! Istilah yang mungkin membuat alis terangkat dan dahi berkerut.
NAmun, inilah konsep kapitalisme tapi religius, yang diusung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P., dalam upaya mengubah apa yang disebutnya paradigma ekonomi umat.
Di Rapat Koordinasi Nasional bidang Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang pada pekan terakhir Februari 2025, Muhadjir menekankan pentingnya membangun ekosistem bisnis yang berlandaskan etika, kejujuran, dan nilai-nilai keagamaan.
Kapitalisme religius, seperti yang dibahas dalam berbagai literatur, merupakan sebuah sistem ekonomi yang menggabungkan prinsip-prinsip kapitalisme dengan nilai-nilai religius.
Tujuannya, menciptakan keseimbangan antara pencapaian material dan spiritual, serta memastikan bahwa aktivitas ekonomi tidak hanya berfokus pada profit semata, tapi juga pada kesejahteraan sosial dan moral.
Konsep ini memiliki kesamaan dengan kapitalisme sosial, namun dengan penekanan lebih kuat pada nilai-nilai keagamaan sebagai landasan operasionalnya.
Jika kapitalisme sosial bisa sama sekali tanpa landasan agama, kapitalisme religius justru menekankan landasan agama untuk mencapai tujuannya.
Meskipun tidak ada satu individu yang secara resmi diakui sebagai pelopor tunggal kapitalisme religius, gagasan ini telah dibahas oleh berbagai pemikir dan akademisi.
Beberapa literatur mengaitkannya dengan pemikiran klasik dari tokoh-tokoh seperti Ibnu Khaldun dan Max Weber, yang mengkaji hubungan antara etika agama dan aktivitas ekonomi.
Jika kapitalisme religius didefinisikan sebagai kapitalisme yang dijalankan dengan nilai-nilai keagamaan dan etika sosial, maka banyak gagasan dari ekonomi Islam di Indonesia yang sejalan dengan konsep ini, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah tersebut. Di antaranya, M. Dawam Rahardjo dan Syafii Antonio.
Dawam Rahardjo, ekonom yang banyak menulis tentang ekonomi Islam dan peran agama dalam pembangunan ekonomi, sering mengkritik kapitalisme konvensional yang cenderung eksploitatif, tetapi tidak serta-merta menolak sistem pasar. Ia mendorong model ekonomi Islam yang berkeadilan, berbasis koperasi, dan tetap kompetitif di pasar bebas.
Namun, implementasi praktisnya dalam konteks modern, seperti yang diusung oleh Muhammadiyah, menunjukkan upaya konkret untuk mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam praktik bisnis sehari-hari.
Syafii Antonio mempraktekkan model bisnis berbasis Islam yang tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik, berkah, dan berdampak sosial positif).
Di sisi lain, Prof. Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian asal Bangladesh, dikenal dengan konsep "bisnis sosial" atau "kewirausahaan sosial" (socialpreneur).
Bisnis sosial adalah perusahaan yang didirikan dengan tujuan utama menyelesaikan masalah sosial, misalnya kemiskinan, bukan mencari keuntungan maksimal.
Investor dapat mengembalikan modal mereka, tetapi tidak menerima dividen; semua keuntungan diinvestasikan kembali untuk mencapai tujuan sosial perusahaan tersebut.
Inilah yang dipraktekkan Muhammad Yunus dalam usahanya, Grameen Bank, yang berhasil membebaskan jutaan warga Bangladesh dari kemiskinan dan jeratan rentenir.
Perbedaan utama antara kapitalisme religius dan bisnis sosial terletak pada fokus dan kerangka operasionalnya. Kapitalisme religius mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan ke dalam sistem kapitalis tradisional, sementara bisnis sosial menekankan pada penyelesaian masalah sosial melalui mekanisme bisnis, tanpa orientasi pada profit bagi investor.
Menggabungkan kapitalisme dengan nilai-nilai religius tentu merupakan tantangan tersendiri. Di satu sisi, kapitalisme sering dikritik karena cenderung materialistis dan mengabaikan aspek-aspek moral.
Di sisi lain, nilai-nilai religius menekankan pada keadilan, kesejahteraan bersama, dan etika. Pertanyaannya: mampukah kedua konsep ini benar-benar berkolaborasi tanpa saling menegasikan?
Selain itu, implementasi kapitalisme religius memerlukan komitmen kuat dari pelaku bisnis untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memastikan bahwa aktivitas mereka membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Ini bukan sekadar tentang menempelkan label "religius" pada praktik bisnis, tetapi tentang transformasi mendalam di cara pandang dan operasional bisnis itu sendiri.
Kapitalisme religius menawarkan perspektif menarik dalam upaya mengharmoniskan antara pencapaian ekonomi dan nilai-nilai moral.
Namun, seperti halnya konsep-konsep besar lainnya, keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi nyata dan komitmen dari semua pihak yang terlibat. Apakah ini akan menjadi solusi efektif atau sekadar jargon baru dalam dunia bisnis? Hanya waktu yang akan menjawabnya. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 3/3/2025