Bismillah, Indonesia Cerah

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Tak peduli seberapa hancur dan amburadulnya negeri ini, saya akan tetap (berusaha) mencintai Indonesia. Tampak terlihat naif ya. Tapi, suatu senja sehari sebelum bulan puasa tiba (1 Maret 2025), saya sudah memutuskan demikian.
Memang, di media sosial begitu marak tagar #Indonesiagelap. Tapi, apakah setiap isu di media sosial harus diamini?
Tentu tidak juga. Kita manusia merdeka. Independen. Berhak memutuskan kehidupan dan sikap hidup sendiri.
Sebagai manusia merdeka, saya ingin membangun ruang hidup sendiri. Kita sebut saja, ruang hidup itu, Indonesia cerah. Cara memandang Indonesia, dengan sikap optimistis.
Melihat bagaimana hancur dan amburadulnya negeri ini, semacam proses menjadi. Saya kira, terlepas apapun kondisi luaran, berani menjadi autentik diperlukan.
Kenapa? Karena dengan menjaga autentisitas hidup semacam ini, menjadi semacam jalan juga atas hadirnya kebahagiaan sejati diri.
Modal kebahagiaan ini pula, sebagai spirit ayunkan langkah untuk Indonesia cerah.
Ide tentang atutentisitas ini, tentu bermula dari sebuah keberanian manusia untuk bisa menjadi dirinya secara sungguh-sungguh. Di tengah-tengah ketidakpastian dalam segala hal akhir-akhir ini.
Politik yang tidak jelas arahnya, ekonomi yang semakin sulit, begitu juga sosial yang carut marut.
Menjadi diri sendiri, berarti berani misalnya berkata tidak untuk menjadi orang lain. Semacam buku-buku motivasi self help yang beberapa diantaranya larut mengajak orang menjadi tokoh tertentu yang dipandang sukses dalam politik, ekonomi maupun sosial. Berani menolaknya. Kenapa?
Kecenderungan yang tampak, ia menganjurkan menjadi pribadi yang sering disebut dengan individu yang selalu terarah pada individu lain (other-directed individual). Tentu, perlu ditolak.
Hanya, bukan berarti menolak membaca, menyelami buku-bumu semacam biografi tertentu. Tapi, sebatas menambah perspektif atas semuanya.
Semacam inspirasi diri. Setelahnya, bisa berefleksi menemukan autentisitas diri. Melongok ke dalam diri. Potensi, bakat, skill (keahlian), ilmu. Untuk selanjutnya memaksimalkan temuan diri itu dalam karya-karya nyata.
Sebenarnya, apa yang saya singgung di atas sebagai bagian dari filosofi branding.
Di mana, branding sendiri adalah sebuah kegiatan komunikasi untuk membedakan satu (produk/orang) dengan yang lain.
Secara langsung maupun tidak langsung, ketika kita bisa menghadirkan autentisitas diri, sejauh itu pula sebenarnya personal branding seseorang bisa dikenal orang lain.
Begitu pula produk baik barang maupun jasa menjadi berbeda karena autentisitas yang menyertainya.
Dalam konteks kebangsaan, kenegaraan, keIndonesiaan, saya kira persoalan autentisitas ini perlu disorot.
Kita, bangsa ini punya beragam sumber daya untuk bisa maju dalam segala hal. Hanya saja, banyak pakar menilai, ada problem kepemimpinan (leadership) yang bikin bangsa ini stagnan (tidak berkembang, tidak maju, terhenti) bahkan boleh dikatakan terus dalam kemunduran.
Kembali mendiskuskan hal di atas, saya tentu, tak menolak begitu saja tagar #Indonesiagelap, karena itu juga respon anak bangsa sikapi fakta kebangsaan, semacam suasa kebatinan.
Hanya saja, menelisik perspektif yang berbeda. Ibarat kata, ada kampanye “Anti Israel”, ada juga “Pro Palestina”, keduanya bisa jadi sama. Tapi, saya memilih yang kedua, “Pro Palestina”.
Begitulah Indonesia cerah menemukan bentuknya. (***)
Penulis: Yons Achmad/Praktisi Branding. Pendiri Brandstory.ID