Home > Nasional

BPN Diminta Hentikan Proses Sertifikat Tanah SMP Negeri 35 Depok

Gelombang melaporkan ke KPK adanya dugaan penyelewengan anggaran dan praktek Mafia Tanah pada kegiatan pengadaan tanah SMPN 25 Depok.
Penampakan lahan yang akan dibangun SMPN 35 Depok di Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. (Foto: Dok Gelombang)
Penampakan lahan yang akan dibangun SMPN 35 Depok di Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. (Foto: Dok Gelombang)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Lokomotif Pembangunan (Gelombang) Kota Depok meminta Badan Pertanahan Kota Depok untuk membatalkan Peta Bidang Tanah dan proses sertifikat lahan seluas 4.000 m2 untuk pembangunan SMP Negeri di Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis Kota Depok.

“BPN Depok harus membatalkan Peta Bidang Tanah Nomor 539/2024 tanggal 15 Mei 2024 dan proses sertifikat lahan untuk pembangunan SMP Negeri tersebut karena adanya dugaan penyelewengan anggaran dan praktek mafia tanah pada kegiatan Pengadaan Tanah pada Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim) kota Depok Tahun Anggaran 2024,” kata Ketua Umum Gelombang, Cahyo P Budiman usai menyerahkan surat kepada Kepala Kantor BPN Depok, Senin (17/2/2025).

Selain terindikasi adanya praktik mafia tanah, Cahyo menambahkan bahwa LSM Gelombang telah melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) perihal adanya dugaan penyelewengan anggaran dan praktek Mafia Tanah pada kegiatan pengadaan tanah tersebut dengan surat laporan Nomor : 002/Lap./lsm-glmbg/B/I/2025 pada 21 Januari 2025 dan surat laporan Nomor : 001/Pen-BB/lsm-glmbg/B/II/2025 tertanggal 14 Februari 2025 (Terlampir : Surat Tanda Terima Laporan Pengaduan Ke KPK-RI).

“Oleh sebab sedang diproses di KPK, seharusnya BPN Depok membatalkan dan menghentikan proses sertifikat tanah untuk pembangunan SMPN 35 Depok. Kalau tidak, BPN bisa turut serta karena mengurus lahan yang bermasalah,” ujar Cahyo.

Pada Jumat (14/2/2025), LSM Gelombang mengirimkan bukti tambahan dan perbaikan laporan ke KPK. Salah satu bukti tambahan yang diserahkan adalah Studi Kelayakan Lokasi SMP Negeri tidak sesuai dengan peruntukan karena merupakan tanah rawa dan berbatasan dengan situ yang memerlukan penangan khusus.

“Dengan bukti tersebut diduga dinas terkait di Pemkot Depok melakukan perbuatan melawan hukum, antara lain yakni tidak adanya kajian kelayakan terhadap Objek Tanah,” kata Cahyo.

Selain itu, Pemkot Depok juga tidak melakukan kajian appraisal dan tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait. Beberapa proses dan tahapan pengadaan tanah juga diduga kuat dilakukan tidak sesuai SOP serta adanya dokumen yang disusun dalam waktu singkat.

Diungkapkan, Akta Jual Beli (AJB) untuk pembelian lahan antara Titi Sumiati dengan Ahli Waris yang diketahui bernama Lie Peng Yang itu dibuat pada 19 Maret 2024. Sementara dokumen untuk pembuatan AJB itu baru dibuat pada 20 Maret 2024. Artinya, terdapat kejanggalan dalam proses pembelian lahan tersebut.

"Jadi AJB ini ditandatangani Camat Cimanggis pada tanggal 19 Maret 2024. Sementara, dokumen untuk pembuatan AJB seperti Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (Sporadik), Surat Pernyataan Tidak Sengketa, Surat Keterangan Riwayat Tanah dibuat pada 20 Maret 2024," jelas Cahyo.

Kejanggalan lainnya, adanya dugaan mark up pengadaan lahan untuk pembangunan SMPN 35 Depok itu dikuatkan dengan proses pembelian antara Titi Sumiati dn Ahli Waris, dan pembelian dari Pemkot Depok ke Titi Sumiati yang hanya berselang enam hari saja.

Selain itu, sebut Cahyo, Titi Sumiati membeli lahan dari Ahli Waris senilai Rp7.448.000.000. Kemudian, tanah itu dijual kembali ke Pemkot Depok untuk pembangunan SMPN 35 Depok dengan harga senilai Rp15.166.000.000.

“Kenapa tidak langsung beli ke ahli waris? Kenapa harus lewat Titi Sumiati yang harganya mahal. Fakta ini mengindikasikan adanya mafia tanah dan keterlibatan pejabat terkait serta anggota DPRD Depok yang mengurusi soal lahan SMPN tersebut,” beber Cahyo

Lebih dari itu, profil Titi Sumiati juga patut dipertanyakan. Selain hanya sebagai mantan anggota DPRD Depok, pekerjaannya juga tidak mumpuni.

“Boleh jadi dia hanya perantara dari pemilik modal. Makanya, aliran dana yang bersangkutan patut ditelusuri. Paling tidak, akan diketahui pihak-pihak yang menerima pembagian dari hasil penjualan tanah,” ungkap Cahyo. ***

× Image