Catatan Cak AT: Algoritmokrasi
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Saat ini, dunia sedang menyaksikan perlombaan kecerdasan buatan (AI) yang semakin sengit antara Amerika Serikat dan China. Setiap bulan, muncul terobosan baru —dari model AI yang semakin canggih hingga integrasi kecerdasan buatan dalam berbagai aspek kehidupan. Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa berlomba menciptakan algoritma yang lebih kuat, lebih cepat, dan lebih berpengaruh.
Namun, di balik inovasi ini, ada pertarungan lain yang tak kalah sengit: pertarungan untuk menguasai arus informasi. AI bukan hanya soal produktivitas atau efisiensi, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikan narasi dunia.
Pertanyaannya, dalam perlombaan ini, di mana posisi demokrasi? Apakah masih rakyat yang berkuasa, ataukah kendali perlahan berpindah ke tangan segelintir pemilik algoritma?
Di panggung demokrasi modern, bukan lagi politisi atau partai yang paling berkuasa, melainkan mereka yang mengendalikan data dan algoritma. Kita melihat bagaimana miliarder teknologi seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg tak hanya menguasai pasar digital, tetapi juga berperan sebagai "penjaga gerbang" opini publik.
Contohnya? Elon Musk, dengan platform X (sebelumnya Twitter), bisa mengarahkan jutaan orang ke isu-isu tertentu hanya dengan mengutak-atik algoritma. Baru-baru ini, ia memberi panggung besar kepada kandidat sayap kanan Jerman dalam sebuah siaran langsung. Beberapa hari sebelumnya, ia bercanda —atau mungkin tidak— tentang "membebaskan" rakyat Inggris dari pemerintahan mereka.
Kebetulan? Rasanya tidak. Ada dugaan kuat bahwa algoritma X telah diarahkan untuk mempromosikan konten tertentu ke jutaan pengguna, membentuk opini publik tanpa mereka sadari.
Sementara itu, Mark Zuckerberg juga tak mau ketinggalan. Setelah mencabut program fact-checking di Meta, ia justru memperbesar distribusi konten politik berbasis algoritma. Bukan sekadar keputusan bisnis, tapi langkah strategis yang bisa membentuk lanskap politik suatu negara.
Pada 2016, studi internal Facebook mengungkap bahwa 64% orang yang bergabung dengan kelompok ekstremis melakukannya karena direkomendasikan oleh algoritma mereka. Kini, Zuckerberg tampaknya ingin meningkatkan dampaknya lebih jauh.
Jika demokrasi adalah pertandingan sepak bola, maka Musk dan Zuckerberg bukan hanya pemilik stadion —mereka juga wasit, komentator, dan mungkin bahkan pencetak gol.
Benua biru Eropa kini menghadapi dilema besar. Apakah mereka akan membiarkan algoritma Amerika dan China menentukan arah demokrasi mereka? Ataukah mereka akan mengambil tindakan tegas untuk merebut kembali kendali?
Beberapa langkah konkret bisa diambil. Pertama, mengaktifkan Digital Services Act (DSA) lebih agresif. Uni Eropa sudah memiliki regulasi untuk mengekang dampak algoritma yang mengacaukan politik. Masalahnya? Implementasinya masih setengah hati.
Kedua, menekan Irlandia agar lebih tegas dalam menegakkan General Data Protection Regulation (GDPR). Raksasa teknologi memilih Irlandia sebagai "surga regulasi" mereka di Eropa. Sudah saatnya UE menekan Irlandia agar benar-benar menegakkan hukum privasi data.
Atau, mereka bisa mematikan algoritma secara paksa jika perlu. Jika platform digital terus membangkang, pemerintah harus mempertimbangkan untuk memblokir distribusi algoritmik, mengembalikan platform ini ke era sebelum 2014—saat konten masih disusun secara kronologis.
Terakhir, membangun ekosistem digital sendiri. Uni Eropa telah membuktikan bahwa mereka bisa lepas dari ketergantungan energi Rusia dalam waktu singkat. Maka, bukan tidak mungkin bagi mereka untuk menciptakan infrastruktur digital yang lebih mandiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Sekarang, mari kita bawa ke konteks Indonesia. Kita mungkin tidak berada di pusat badai politik seperti Eropa, tetapi apakah demokrasi kita benar-benar milik rakyat?
Seberapa sering kita melihat berita atau video tertentu tiba-tiba viral, bukan karena nilai beritanya, tetapi karena algoritma memutuskan bahwa kita "harus" melihatnya? Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa konten tertentu lebih sering muncul di beranda, sementara isu-isu penting malah tenggelam?
Selama Pemilu 2019 dan menjelang 2024, kita melihat bagaimana media sosial menjadi medan tempur opini. Buzzer bertebaran, kampanye hitam merajalela, dan hoaks bertebaran. Semua ini bukan hanya karena manusia, tapi karena algoritma yang mendorong konten bernuansa konflik lebih tinggi di linimasa kita.
Kita selalu diajarkan bahwa demokrasi berarti rakyat yang berkuasa. Tapi dalam realitas hari ini, ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar pemungutan suara: kekuatan algoritma yang menentukan apa yang kita lihat, apa yang kita percayai, dan akhirnya, bagaimana kita memilih.
Jika situasi ini dibiarkan, maka demokrasi akan berubah menjadi algoritmokrasi —sebuah sistem di mana kebebasan berpikir dan berpendapat dikendalikan oleh segelintir orang di Silicon Valley.
Maka, pertanyaannya bukan lagi "siapa yang akan memenangkan pemilu berikutnya?", tetapi "siapa yang mengontrol algoritma yang menentukan pemilu berikutnya?"
Karena di dunia yang semakin digital ini, kekuasaan tidak lagi berada di tangan yang memegang palu parlemen, tetapi di tangan yang memegang kendali atas tombol boost post. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 1/2/2025