Home > Info Sehat

UI Kaji Peran Teknologi 3D dalam Bidang Bedah Mulut dan Maksilofasial di Indonesia

Komponen utama yang mendukung teknologi 3D dalam bedah mulut dan maksilofasial adalah pencitraan 3D (3D imaging), perangkat lunak (software) perencanaan virtual, dan pencetakan 3D (3D printing).
Prof. Dr. drg. Lilies Dwi Sulistyani, Sp.B.M.M., Subsp.T.M.T.M.J(K). (Foto: Dok Biro Humas & KIP UI)
Prof. Dr. drg. Lilies Dwi Sulistyani, Sp.B.M.M., Subsp.T.M.T.M.J(K). (Foto: Dok Biro Humas & KIP UI)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, mengukuhkan Prof. Dr. drg. Lilies Dwi Sulistyani, Sp.B.M.M., Subsp.T.M.T.M.J(K) dan Prof. Dr. drg. Febriana Setiawati, M.Kes, FISDPH, FISPD sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI yang berlangsung di Makara Art Center UI, Sabtu (11/01/2025).

Prof. Lilies ditetapkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Bedah Mulut dan Maksilofasial, serta merupakan guru besar ke-4 yang dikukuhkan tahun ini dari total 481 guru besar UI.

Dalam pidatonya yang berjudul “Peran Teknologi 3D dalam Masa Depan Bedah Mulut dan Maksilofasial di Indonesia”, Prof. Lilies mengatakan bahwa teknologi 3D telah berkembang pesat di dunia kedokteran, termasuk di bidang bedah mulut dan maksilofasial.

Teknologi 3D mampu mengatasi keterbatasan pencitraan 2D karena memberikan detail struktur yang kompleks dari kondisi mulut dan wajah. Teknologi 3D berperan penting untuk diagnosis, perencanaan, dan pelaksanaan prosedur bedah.

Komponen utama yang mendukung teknologi 3D dalam bedah mulut dan maksilofasial adalah pencitraan 3D (3D imaging), perangkat lunak (software) perencanaan virtual, dan pencetakan 3D (3D printing).

Teknologi pencitraan 3D, seperti Cone Beam Computed Tomography (CBCT), dapat memvisualisasikan struktur kompleks di kepala, leher, dan rahang, serta menghasilkan gambar tiga dimensi yang sangat detail dengan dosis radiasi lebih rendah dibandingkan CT scan konvensional.

Prof. Lilies menyebut bahwa pencetakan 3D dilakukan untuk menciptakan model fisik 3D yang presisi untuk membantu dokter memahami anatomi unik pasien.

Perangkat lunak perencanaan virtual berbasis 3D memungkinkan dokter untuk merancang prosedur dengan lebih akurat sebelum operasi dilakukan.

“Sebagai contoh, dalam rekonstruksi rahang, teknologi 3D digunakan untuk membuat desain dan membuat implan titanium custom untuk mengganti bagian tulang rahang yang hilang akibat trauma, tumor, atau kondisi patologis lain,” terang Lilies dalam keterangan yang diterima, Sabtu (18/01/2025).

Pemanfaatan teknologi 3D dalam bidang bedah mulut memberikan banyak manfaat, baik dalam aspek diagnostik, perencanaan, hingga pelaksanaan prosedur bedah.

Teknologi, seperti CBCT sebagai pilihan lain dari CT-Scan ataupun MRI di bagian kepala dan leher, pencetakan model 3D, dan penggunaan perangkat lunak perencanaan virtual terbukti mampu meningkatkan keakuratan dalam diagnosis dan perencanaan operasi, serta mempercepat proses pemulihan pasien.

Meski demikian, penggunaan teknologi 3D di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Keterbatasan infrastruktur teknologi kesehatan memerlukan investasi besar.

Penggunaan teknologi 3D dalam bedah mulut dan maksilofasial, seperti pencetakan implan individu (custom) atau penggunaan panduan bedah 3D, juga membutuhkan biaya yang tinggi.

Selain itu, memprioritaskan investasi dalam teknologi 3D lebih sulit jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar lainnya, seperti peralatan bedah konvensional dan obat-obatan.

Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi teknologi 3D, Prof. Lilies menyebut perlu adanya integrasi dalam pendidikan kedokteran gigi, khususnya di tingkat universitas.

Pengajaran dan pelatihan teknologi 3D dimasukkan dalam kurikulum untuk memastikan bahwa tenaga medis siap menghadapi tantangan teknologi canggih ini.

Kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan penyedia teknologi juga penting untuk menciptakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan modern.

Selain itu, pemerintah perlu berkolaborasi dengan sektor swasta untuk memperluas akses teknologi 3D dengan memberikan subsidi atau hibah untuk rumah sakit di daerah terpencil.

“Melalui langkah ini, teknologi 3D dapat memberikan dampak besar dalam meningkatkan kualitas perawatan bedah mulut dan maksilofasial di Indonesia, serta memperluas akses ke prosedur medis yang lebih presisi dan aman bagi masyarakat luas. Dengan investasi dalam pelatihan tenaga medis, infrastruktur teknologi, dan kebijakan yang mendukung, teknologi ini tidak hanya meningkatkan kualitas perawatan, tetapi juga memberikan akses yang lebih luas ke pelayanan kesehatan berkualitas, bahkan di daerah terpencil,” jelas Lilies.

Penelitian Lilies terkait pemanfaatan teknologi 3D untuk kesehatan bedah mulut dan maksilofasial ini menunjukkan ketertarikannya pada bidang tersebut.

Sebelumnya, dia melakukan beberapa penelitian lain, di antaranya Autogenous Block Graft with Simultaneous Implant Placement in the Aesthetic Zone: A Case Report (2024), Treatment Outcome Comparison between Tooth Borne vs Bone Borne Intermaxillary Fixation Devices: A Systematic Review (2024), dan Evaluating Dental Arch Relationships in Indonesian Patients with Operated Bilateral Cleft Lip and Palate Using Modified Huddart/Bodenham Index and Bauru-Bilateral Cleft Lip and Palate (BCLP) Yardstick (2024).

Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Prof. Lilies menamatkan pendidikan di FKG UI untuk program Sarjana Kedokteran Gigi (1987), Spesialis-1 Bedah Mulut (2003), dan Doktor Kedokteran Gigi (2014).

Lilies juga menyelesaikan Spesialis-2 Bedah Trauma Maksilofasial dan Kelainan Temporo Mandibular Joint pada 2019. Saat ini, Prof. Lilies menjabat sebagai Ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG UI. (***)

× Image