Program Makan Bergizi Gratis: Katalis Perubahan Ekonomi Masyarakat
RUZKA REPUBLIKA NETWORK
Oleh : Bagus Ardeni
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) telah dilaksanakan perdana pada Senin (6/1/2025) di sejumlah sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Sebagai janji kampanye Prabowo Subianto, pertanyaan pun mengemuka: apakah program ini mampu menjadi solusi jangka panjang dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak-anak? Dengan porsi makanan seharga Rp 10.000 per anak, mungkinkah program ini juga dapat mendorong geliat ekonomi lokal dan memberikan dampak sosial yang signifikan?
Melihat dari sudut pandang pragmatis, program ini dapat menjadi langkah awal untuk mengenalkan pentingnya pola makan bergizi kepada masyarakat. Namun, lebih jauh dari itu, program ini memiliki potensi yang lebih besar: menciptakan ekosistem ekonomi yang memberdayakan wong cilik dan mengurangi ketimpangan ekonomi.
Tentu saja, pemenuhan gizi anak-anak adalah investasi jangka panjang yang berdampak langsung pada kesehatan, perkembangan kognitif, dan kemampuan belajar. Anak-anak dengan gizi seimbang memiliki peluang lebih besar untuk fokus di kelas, yang pada akhirnya berkontribusi pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Namun, dampak program ini tidak berhenti di ranah pendidikan.
Dalam konteks ekonomi, keterlibatan masyarakat lokal dalam penyediaan bahan pangan menciptakan rantai nilai yang inklusif. Petani kecil, nelayan, hingga usaha rumahan dapat menjadi bagian dari sistem penyediaan makanan, menjadikan program ini katalisator untuk menggerakkan ekonomi lokal. Dengan skema yang terintegrasi, MBG bisa menjadi alat pemberdayaan ekonomi di komunitas yang membutuhkan.
Ketika bahan pangan yang digunakan dalam program berasal dari petani lokal, nelayan, atau usaha kecil setempat, rantai pasok yang terlibat akan menjadi lebih inklusif. Misalnya, sayuran dari petani lokal atau ikan dari nelayan sekitar sekolah dapat menjadi bagian dari menu harian anak-anak. Hal ini membuka pasar baru dan memberikan stabilitas pendapatan bagi masyarakat.
Contoh inspiratif dapat dilihat dari India melalui Mid-Day Meal Scheme (MDMS). Di sana bahan pangan lokal dimanfaatkan untuk menyediakan makanan bagi jutaan siswa. Selain meningkatkan kesehatan anak-anak, program ini menciptakan lapangan kerja bagi perempuan desa sebagai pengelola dapur sekolah. Indonesia bisa mengadopsi pola serupa dengan mengintegrasikan ekonomi lokal dalam implementasi program.
Peran UMKM dalam Ekosistem Program
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah pilar ekonomi Indonesia yang sering kali menghadapi tantangan akses pasar. Dalam tahap implementasi idealnya, program makan siang gratis dapat membuka peluang bagi UMKM untuk berkembang. Misalnya, katering rumahan, produsen tempe, atau pembuat keripik singkong dapat menjadi mitra penyedia makanan. Dengan melibatkan UMKM, program ini tidak hanya memberi nutrisi kepada anak-anak tetapi juga menyuntikkan kehidupan baru ke dalam sektor usaha kecil.
Melibatkan UMKM dalam skala besar juga berpotensi menciptakan rantai ekonomi yang lebih kokoh. Dari petani penyedia bahan mentah hingga pengolah makanan, semua pihak dapat merasakan manfaat langsung. Ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan sosial dapat dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam perspektif Amartya Sen, pemberdayaan ekonomi melalui keterlibatan langsung masyarakat dalam program sosial semacam ini adalah langkah nyata menuju capabilities approach, di mana masyarakat tidak hanya menerima bantuan tetapi juga diberdayakan untuk menciptakan nilai ekonomi baru.
Investasi Jangka Panjang: Pendidikan dan Kesejahteraan
Menurut data UNICEF (2017), keanekaragaman pola makan remaja di Indonesia tergolong rendah, dengan hanya 25 persen yang mengonsumsi makanan sumber zat besi dan nutrisi mikro penting lainnya, seperti bahan pangan hewani dan sayuran. Padahal, anak-anak yang menerima makanan bergizi memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara optimal, baik dari segi kesehatan fisik maupun kemampuan belajar. Gizi yang cukup dapat membantu mereka fokus di kelas, meningkatkan prestasi akademik, dan mempersiapkan mereka untuk masa depan yang lebih cerah. Artinya, hadirnya MBG berupaya untuk meminalisasi hal tersebut sekaligus memberikan peluang bagi anak-anak di Indonesia untuk berkembang.
Namun, dampaknya tidak hanya berhenti di situ. Dengan melibatkan komunitas lokal dalam rantai pasokan makanan, program ini memberikan dampak ekonomi langsung. Petani kecil, nelayan, dan ibu rumah tangga yang terlibat dalam penyediaan makanan memperoleh pendapatan tambahan yang stabil. Dalam jangka panjang, model seperti ini dapat memutus rantai kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan komunitas.
Meski demikian, sebesar apa pun potensinya, program MBG menghadapi tantangan signifikan. Risiko penyalahgunaan anggaran dan ketidakefisienan pengelolaan adalah isu utama yang harus diantisipasi. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pelaksanaan menjadi kunci keberhasilan program. Selain itu, keberlanjutan pasokan bahan pangan juga menjadi perhatian. Prioritas harus diberikan kepada produk lokal dengan dukungan berupa insentif atau subsidi bagi petani kecil dan UMKM. Pemerintah juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk memantau distribusi dan pelaksanaan program secara real-time, sehingga meminimalkan potensi kebocoran anggaran.
Belajar dari Negara Lain
Program makan siang sekolah di berbagai negara, seperti Brasil dan Jepang, telah membuktikan dirinya sebagai kebijakan yang memiliki dampak multidimensi, melampaui tujuan utama pemenuhan gizi anak-anak.
Di Brasil, melalui National School Feeding Programme (PNAE), pemerintah menetapkan kebijakan untuk memprioritaskan pembelian bahan pangan dari petani kecil. Kebijakan ini tidak hanya meningkatkan konsumsi produk lokal, tetapi juga mengurangi ketergantungan negara pada impor, sekaligus mendorong terciptanya ekonomi yang lebih mandiri dan berkeadilan.
Sementara itu, di Jepang, program makan siang sekolah (kyuushoku) mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan pangan dalam kehidupan siswa. Anak-anak diajarkan untuk menghargai asal-usul makanan mereka, yang pada gilirannya membangun hubungan emosional dengan komunitas lokal dan budaya mereka.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa program makan siang sekolah tidak hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga untuk memperkuat solidaritas sosial, menciptakan kesadaran budaya, dan menanamkan nilai-nilai keberlanjutan sejak dini. Kombinasi dimensi ekonomi, sosial, dan budaya ini mencerminkan bagaimana kebijakan yang sederhana sekalipun dapat menjadi instrumen strategis dalam pembangunan masyarakat yang inklusif dan berdaya saing.
Sampai tahap ini, dapat disebut bahwa, Program Makan Bergizi Gratis di sekolah bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga wujud keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat. Dengan pengelolaan yang transparan dan pendekatan yang berkelanjutan, program ini memiliki potensi untuk menghidupkan ekonomi wong cilik melalui pemberdayaan lokal.
Jika dijalankan dengan optimal, MBG bisa menjadi bukti nyata bagaimana kebijakan multidimensi mampu menciptakan dampak yang luas, dari dapur sekolah hingga pasar tani. Program ini adalah peluang untuk membangun ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, menjadikan Indonesia tidak hanya lebih sehat tetapi juga lebih sejahtera.