Konser Jadi Konflik, Ketika Vendor Korbankan Kepercayaan Konsumen
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kehadiran para idola serta penyanyi-penyanyi berbakat yang menggelar konser dan ikut meramaikan industri hiburan di Indonesia berhasil menumbuhkan rasa antusiasme tinggi Masyarakat Indonesia untuk turut mengikuti konser-konser yang diselenggarakan idolanya.
Euforia menyenangkan yang dinanti-nantikan masyarakat Indonesia sebagai penggemar justru kerap kali berakhir menjadi kekecewaan.
Tentunya, kekecewaan yang membawa konflik akibat kelalaian vendor acara yang kerap mengabaikan aspek etika bisnis demi keuntungan sesaat.
Ketidaklayakan venue yang tidak sesuai dengan harga tiket, pengelolaan yang buruk, komunikasi yang kurang transparan serta ketidakjelasan antara apa yang dijanjikan dan kenyataan di lapangan ini menjadi latar belakang konflik antara konsumen dan vendor acara.
Pada studi yang dirilis Populix melalui laporannya yang berjudul “Beyond Borders: A Study of Indonesian Concert-Goers’ Behavior” membahas bagaimana antusiasme masyarakat Indonesia terhadap konser dan festival music terus meningkat dari 2023 ke 2024.
Kenaikan antusiasme masyarakat Indonesia dalam mengikuti konser dan festival musik menjadi sasaran empuk para oknum penyelenggara yang hanya mementingkan keuntungan dan profit.
Hal ini dibuktikan bahwa sebanyak 42% responden mengatakan pada 2023 mereka telah menghadiri konser musik dengan 32% didalamnya menghadiri konser yang terhitung lebih dari tiga kali dalam satu tahun terakhir.
Data responden sebesar 57% yang memiliki rencana untuk menonton konser di tahun berikutnya menjadi landasan utama bahwa peningkatan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap konser dan festival musik akan terus meningkat.
Kekecewaan para konsumen dirasakan berdasarkan pengalaman pribadi penggemar yang merasa tidak puas akan venue yang digunakan seperti tempat duduk yang tidak memadai dan terlalu penuh.
Selain itu juga kualitas suara yang buruk membuat konsumen tidak mendapatkan kenyamanan dan pengalaman maksimal yang sepadan dengan harga yang diberikan.
Keuntungan sementara yang dicari oleh oknum pelaku vendor acara menjadi latar belakang kepuasan konsumen yang membeli tiket konser atau festival musik tidak dapat tercapai.
Pada kasusnya banyak acara musik yang penontonnya melebihi kapasitas venue yang disewakan karena oknum vendor ingin memaksimalkan profit yang didapatkan tanpa memikirkan hal ini dapat mencederai kepercayaan dan keselamatan konsumen serta merusak reputasi penyelenggara.
Keluhan masyarakat Indonesia terhadap oknum vendor acara ini mencerminkan kegagalan dalam menjalankan administrasi organisasi yang akuntabel dan transparan dengan para konsumennya.
Etika dalam berbisnis membahas bagaimana suatu bisnis tidak boleh melakukan penipuan terhadap informasi yang diberikan.
Pada kasus oknum penyelenggara yang tidak transparan terkait kapasitas venue acara yang diselenggarakan secara langsung sudah melanggar etika bisnis yang seharusnya dijaga oleh pihak penyelenggara.
Kepercayaan, loyalitas serta komitmen akan benefit yang ditawarkan oleh penyelenggara kepada konsumennya harus bisa ditanggung jawabkan karena hasil yang diberikan akibat tata kelola bisnis yang baik akan membawa kepercayaan dan loyalitas dari masyarakat terhadap acara-acara yang diselenggarakan oleh vendor.
Industri hiburan khususnya konser dan festival musik secara tidak langsung dapat meningkatkan perekonomian di wilayah terselenggaranya konser.
Berkaca melalui konser “The Era’s Tour” yang dibawakan Taylor Swift berhasil melahirkan istilah “Swiftonomics” dikarenakan dampak pertumbuhan ekonomi yang signifikan yang dihasilkan oleh konser The Era’s Tour.
Singapura sebagai negara paling dekat dengan Indonesia menjadi contoh suksesnya pertumbuhan ekonomi dihasilkan karena konsumen memiliki kepercayaan serta loyalitas terhadap penyelenggara konser di Singapura dibuktikan dengan terjual habisnya tiket 6 hari The Era’s Tour dan secara tidak langsung membangun ekonomi lokal Singapura.
Mendapatkan kepercayaan dan loyalitas merupakan aset berharga yang dapat dimiliki oleh penyelenggara acara, dengan mengabaikan etika dalam berbisnis akan memberikan risiko merusak aspek loyalitas dan kepercayaan konsumen.
Membangun hubungan yang transparan dan jujur dengan konsumen adalah langkah yang harus diambil agar industri hiburan terus berkembang tanpa mengorbankan integritas dan reputasi.
Hal ini menjadi evaluasi bagi penyelenggara acara, pihak penyelenggara harus memprioritaskan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mengejar keuntungan sesaat yang dapat merusak hubungan dengan konsumen dan merusak citra industri hiburan secara keseluruhan. (***)
Penulis: Tasya Aqeela Kailani/Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI)