Home > Kolom

Eutanasia: Antara Hak Individu dan Martabat Hidup

Munculnya perdebatan mengenai euthanasia tidak terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran yang telah melampaui kemampuan manusia dalam memahami dan mengatasi dampak kemajuan tersebut.
Foto ilustrasi diskusi tentang euthanasia, antara hak hidup dan martabat hidup. (Foto: Alodokter)
Foto ilustrasi diskusi tentang euthanasia, antara hak hidup dan martabat hidup. (Foto: Alodokter)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ketika berbicara tentang etika, seringkali menghadapi situasi yang tidak hitam putih. Sama seperti kode etik organisasi yang harus menyeimbangkan beragam kepentingan, diskusi tentang euthanasia mengarah pada perdebatan moral yang lebih kompleks.

Karena nilai-nilai etika dalam organisasi, perlu memahami bahwa setiap keputusan etis memerlukan pertimbangan mendalam terhadap banyak aspek, mulai dari prinsip dasar hingga implikasi praktis.

Dalam konteks euthanasia, permasalahan etika menjadi lebih mendasar. Bagaimana menyeimbangkan nilai sakral kehidupan dengan hak individu untuk mengakhiri penderitaan.

Etika merupakan landasan yang membentuk perilaku manusia dalam masyarakat. Etika lebih dari sekedar aturan tertulis, ia mencerminkan nilai-nilai moral yang menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan dan tindakan sehari-hari.

Di dunia yang semakin kompleks saat ini, semakin penting untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang etika, tidak hanya dalam konteks pribadi, namun juga dalam bidang profesional, sosial, dan bahkan digital.

Etika bukan sekedar mengetahui benar dan salah, namun juga memahami nuansa setiap keputusan moral yang di hadapi.

Etika sebagai pedoman berperilaku membantu menyelaraskan tindakan kita dengan nilai-nilai fundamental kemanusiaan, dengan mempertimbangkan konteks dan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil.

Euthanasia, dari kata Yunani “euˮ (baik) dan “thanatosˮ (kematian), merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri hidup seseorang, dengan tujuan mengakhiri penderitaan.

Praktik ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar mengenai hak individu untuk mengakhiri penderitaan serta dilema etika yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Meskipun beberapa negara kini telah melegalkan dan mengatur secara ketat praktik euthanasia, di negara lain praktik euthanasia masih dianggap sebagai aktivitas kontroversial dan ilegal.

Munculnya perdebatan mengenai euthanasia tidak terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran yang telah melampaui kemampuan manusia dalam memahami dan mengatasi dampak kemajuan tersebut.

Teknologi modern telah membuka kemungkinan untuk memperpanjang umur manusia dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun kemampuan ini menimbulkan dilema etika mengenai aspek kualitas hidup dan hak pasien.

Masyarakat saat ini menghadapi pertanyaan kompleks tentang kapan dan bagaimana mengakhiri hidup manusia guna meringankan penderitaan manusia.

Dalam konteks ini, etika berperan penting dalam menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan, hak individu, dan prinsip moral yang berlaku dalam Masyarakat.

Eutanasia di Indonesia

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, euthanasia dianggap melanggar prinsip moral dan agama dan sangat ditentang oleh masyarakat. Namun sejarah Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting terkait upaya melegalkan euthanasia.

Kasus pertama yang menyita perhatian publik terjadi pada 2004, saat Hassan Kusuma mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) agar istrinya, Agian Isna Nauri, disuntik mati. Saat itu, Agian terbaring tak berdaya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Hassan mengajukan permohonan ini berdasarkan dua alasan utama, kesulitan membiayai pengobatan dan ingin mengakhiri penderitaan istrinya.

Namun, pengadilan menolak tuntutan tersebut karena beberapa alasan, termasuk ketidakkonsistenan dengan nilai-nilai agama, kurangnya hukum yang berlaku, dan harapan orang Asia akan kesembuhan.

Setelah kasus Hassan menjadi titik balik perdebatan euthanasia di Indonesia, muncul beberapa kasus serupa yang memperkaya perdebatan tersebut.

Pada 2014, Ryan Tumiwa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengkriminalisasi Euthanasia.

Motivasi Ryan didasarkan pada depresi dan pengangguran, namun kasus tersebut akhirnya dibatalkan dan Ryan memutuskan untuk melanjutkan hidupnya.

Tiga tahun kemudian, pada Mei 2017, terjadi peristiwa Berlin Shirarahi di Banda Aceh. Berlin, seorang korban tsunami yang lumpuh, mengajukan petisi kepada Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh untuk melakukan euthanasia karena kondisi kehidupannya yang tidak tertahankan.

Seperti kasus-kasus sebelumnya, permohonan ini ditolak dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum, etika dan agama yang berlaku di Aceh.

Rangkaian kejadian tersebut terjadi di saat euthanasia masih menjadi perdebatan sengit di Indonesia, dimana euthanasia masih dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma hukum, etika, dan nilai agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.

Hak untuk hidup vs Hak untuk mati

Konflik antara hak untuk hidup dan hak untuk mati adalah salah satu dilema etika paling hangat yang terjadi di masyarakat modern.

Hak untuk hidup diakui dan dilindungi secara universal dalam berbagai deklarasi internasional dan konstitusi nasional, termasuk Indonesia dan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar.

Hak ini menekankan bahwa negara perlu menjaga kehidupan warga negaranya, dan bahwa setiap orang, dalam situasi apa pun, memiliki hak untuk hidup.

Sementara, saat ini konsep hak untuk mati merupakan sebuah gagasan yang jauh lebih kontroversial, beberapa bagian masyarakat yang mendukung konsep ini percaya bahwa setiap manusia harus memiliki otonomi penuh atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri, termasuk hak untuk mengakhiri hidup mereka dalam keadaan tertentu, seperti penyakit mematikan dengan kemungkinan sembuh hanya sedikit.

Meskipun beberapa sistem hukum dan masyarakat mulai mengakui validitas konsep ini, perdebatan mengenai implikasi etika, moral, dan sosial terus berlanjut.

Di Indonesia, perdebatan mengenai hak untuk mati menghadapi tantangan yang lebih kompleks.

Nilai-nilai sosial, budaya dan agama yang mengakar dalam masyarakat Indonesia menganggap hidup adalah anugerah dan kematian adalah takdir yang tidak bisa diintervensi oleh manusia. Pandangan ini didukung oleh kerangka hukum yang melarang keras euthanasia.

Kompleksitas hukum dan etika yang melingkupi perwujudan hak untuk mati telah menyebabkan pemerintah dan masyarakat Indonesia mengambil pendekatan yang sangat hati-hati.

Dominasi ajaran agama yang mengedepankan kesucian hidup, dipadukan dengan kuatnya tradisi sosial yang mengedepankan kelestarian hidup, semakin memperkuat posisi hak hidup sebagai prioritas utama dalam konteks Indonesia.

Meskipun perdebatan global mengenai hak untuk mati terus berkembang, Indonesia tetap berkomitmen pada prinsip melindungi dan menghormati hak untuk hidup.

Should Indonesia Legalize Euthanasia?

Euthanasia memang telah memicu perdebatan etika yang intens di seluruh dunia. Di sisi lain, terdapat argumen yang mendukung euthanasia sebagai ekspresi otonomi pasien dan hak untuk mengakhiri penderitaan.

Namun, ada kekhawatiran besar mengenai potensi penyalahgunaan dan dampaknya terhadap nilai-nilai masyarakat dan profesi medis.

Selama lima tahun terakhir, semakin banyak negara dan wilayah yang mulai melegalkan euthanasia, namun penelitian terbaru di Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat alternatif yang jauh lebih bermanfaat bagi pasien yang sakit parah.

Hal ini menunjukkan bahwa terlalu dini untuk menyimpulkan berdasarkan etika bahwa euthanasia adalah solusi akhir terhadap masalah kematian serius.

Ada banyak pilihan lain yang belum dimanfaatkan yang pada akhirnya memberikan pasien kontrol lebih besar terhadap kualitas hidup mereka.

Di Indonesia, masih terlalu dini untuk menganjurkan legalisasi euthanasia. Negara ini belum memanfaatkan sepenuhnya pilihan-pilihan yang memungkinkan pasien meninggal dengan cara yang lebih bermartabat dan terkendali.

Dalam konteks ini, Indonesia telah melakukan upaya signifikan untuk meningkatkan aspek administrasi dalam bentuk kebijakan dan akses terhadap layanan hospice berkualitas yang dapat memberikan perawatan paliatif secara efektif sesuai dengan kebutuhan pasien dan misi moral jangka panjang yang memiliki tanggung jawab etis.

Sebelum mempertimbangkan legalisasi euthanasia, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan kebijakan dan infrastruktur kesehatan yang mendukung perawatan paliatif sebagai bagian dari pendekatan komprehensif terhadap perawatan akhir hayat.

Oleh karena itu, sebelum melegalkan euthanasia, ada kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem dan administrasi layanan kesehatan yang ada untuk memastikan bahwa semua pasien menerima layanan yang memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.

Ini merupakan langkah penting yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik pasien, tetapi juga menghormati nilai-nilai etika dan sosial yang menjadi landasan masyarakat. (***)

Penulis: Saffanah Atheeya Syarah/peserta Mata Kuliah Filsafat dan Etika Administrasi, Program Studi Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (FIA UI).

(Artikel ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu kewajiban dalam Mata Kuliah Filsafat dan Etika Administrasi)

× Image