Home > Kolom

Catatan Cak AT: Media-Demokrasi

Di kata pengantar itu, Schmidt dengan sinis menyebut media modern dan demokrasi hari ini lebih mirip pentas opera sabun ketimbang panggung pemikiran serius.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Media-Demokrasi. (Foto: Dok Ruzka)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Media-Demokrasi. (Foto: Dok Ruzka)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Helmut Schmidt, anda pernah kenal dia. Sang negarawan tua Jerman yang juga penerbit Die Zeit ini pernah menulis pengantar untuk buku Constructive News karya Ulrik Haagerup.

Pengantar yang ditulisnya satu dekade lalu itu tampil dengan nada yang hampir menyerupai komedi gelap, namun di tengah itu dia masih optimis menitipkan harapan lebih baik kepada penulis muda seperti Ulrik.

Di kata pengantar itu, Schmidt dengan sinis menyebut media modern dan demokrasi hari ini lebih mirip pentas opera sabun ketimbang panggung pemikiran serius.

Ia menyebut fenomena ini sebagai media-demokrasi, di mana media menjadi aktor utama dalam drama politik, rajin meninggalkan para politisi sebagai figuran yang hanya sibuk mencari perhatian.

Dan, ya, jika Schmidt masih hidup dan pindah ke Indonesia, mungkin ia akan kehabisan tinta untuk mencatat segala absurditas ini.

Sebab di sini, media-demokrasi telah berevolusi menjadi demokrasi-clickbait, dengan politisi yang lebih mirip selebritas, kebijakan yang seperti gimik film, dan masyarakat yang lebih sering terpukau oleh berita "tukang kayu masuk gorong-gorong" ketimbang diskusi serius tentang deforestasi, bencana lingkungan, atau reformasi hukum.

Schmidt menyoroti bahwa media-demokrasi "melahirkan bukan pemimpin sejati, tetapi populis." Indonesia tentu menjadi laboratorium sempurna untuk eksperimen ini.

Bayangkan seorang tokoh politik bangun tidur, menggulung selimutnya, lalu mencuitkan "Saya Indonesia, NKRI harga mati!" ke Twitter (atau sekarang, X). Lima menit kemudian, berita utama memujinya sebagai suara tokoh nasionalis.

Retorika sensasional ini begitu digemari media. Dari "Jokodok blusukan ke pasar" hingga "berdiri di genangan banjir," semua diliput dengan bumbu narasi pahlawan rakyat.

Tapi kebijakan nyata dan implementasi janji kampanye? Tertunda dulu. Sebaliknya, mari kita nikmati drama foto-foto viral.

Retorika dan gimik inilah opera sabun yang Schmidt maksudkan dan di Indonesia, acara ini tampaknya berjalan setiap hari dengan rating tinggi. Bahkan mungkin setiap detik.

Schmidt mencibir betapa politik modern telah terjebak dalam keterbatasan media sosial. Di Indonesia, ini mungkin lebih buruk lagi.

Alih-alih membangun wacana yang dalam, politisi hingga aparatur negara kita kini berlomba-lomba menjadi "influencer" dadakan, dan pemerintah pun secara resmi membentuk tim buzzer yang dibiayai dengan pajak rakyat. Untuk kepentingan siapa?

Lihatlah unggahan mereka: ada yang memancing sambil selfie, bersepeda tanpa protokol, membagikan santapan nasi bungkus di pinggir jalan, atau melempar kaos dari atas mobil sambil nyengir dan dengan tatapan mata menista.

Hasilnya? Puluhan ribu like dan trending tagar, tapi dampaknya pada kebijakan publik nol besar; bahkan hanya merawat kemiskinan dan kelaparan selama dua periode.

Di era ini, media sosial telah menjadi arena pertempuran opini instan. Dalam 280 karakter, seorang tokoh dapat melontarkan janji yang bahkan lebih pendek dari kontrak cicilan rumah.

Sementara itu, kebijakan jangka panjang yang rumit kalah bersaing dengan tagar yang catchy. Schmidt pasti akan mengangguk penuh ironi: ini bukan demokrasi; ini lelang popularitas.

Populisme juga tercermin dalam kebijakan yang dirancang bukan untuk memecahkan masalah, tetapi memenangkan hati publik dalam jangka pendek.

Subsidi bansos besar-besaran, penghapusan pajak, atau kebijakan viral lainnya sering kali menjadi headline tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.

Media tidak mempertanyakan dampaknya sebaliknya, mereka sibuk menghitung jumlah klik dan membangun narasi heroik.

Bayangkan, alih-alih fokus pada solusi deforestasi, kita lebih sibuk membahas jam tangan pejabat atau selebritas yang "diisukan dekat dengan politisi."

Di sini, media tidak lagi berperan sebagai pilar keempat demokrasi; mereka lebih cocok disebut stand-up comedian politik. Maka, yang lahir dari rahim ini hanya para pelawak, bukan pemimpin sejati.

Namun, Schmidt tidak sepenuhnya pesimis. Ia percaya pada constructive journalism seperti yang ditulis Ulrik di bukunya —jurnalisme yang tak hanya melaporkan masalah, tapi juga memberikan solusi.

Di Indonesia, ide ini mulai digarap Tempo. Bayangkan jika berita kita lebih banyak membahas bagaimana komunitas lokal mengatasi banjir, alih-alih hanya meliput pejabat yang sekadar "meninjau lokasi."

Namun, media konstruktif juga punya tantangan. Artikel yang membahas solusi jarang menghasilkan klik sebanyak berita tentang skandal selebritas.

Apalagi, algoritma media sosial lebih suka mempromosikan konten sensasional daripada diskusi mendalam. Itu sebabnya, sokongan uang langganan dari pembaca bisa sangat membantu.

Jadi, dalam dunia media-demokrasi, absurditas adalah mata uang utama, dan Schmidt memahami ini dengan sangat baik sejak sepuluh tahun silam.

Di Indonesia, absurditas itu bahkan mencapai level seni tinggi. Kita memiliki politisi yang lebih sibuk menjadi selebritas, media yang lebih tertarik pada drama, dan masyarakat yang lebih senang mengonsumsi meme daripada membaca analisis kebijakan.

Namun, harapan tidak sepenuhnya sirna. Jika media berani menantang narasi populisme dan menggali lebih dalam untuk mencari solusi nyata dalam format jurnalisme konstruktif, mungkin kita masih bisa menyelamatkan demokrasi kita dari jebakan clickbait. Syukur jika negara hadir, mendukung media membangun jurnalisme konstruktif.

Dan jika tidak? Minimal, kita punya bahan tertawaan untuk beberapa dekade ke depan. Karena, seperti kata Schmidt —dengan sedikit tambahan satir— "Jika demokrasi adalah panggung, maka kita semua sedang menonton drama yang salah." (***)

Catatan Cak AT/Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 24/11/2024

× Image