Sawit Watch Ungkap Data dan Informasi Pemutihan Sawit Sulit Didapat
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menyatakan bahwa tindakan tim penyidik Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal tahun 2005-2024 berkaitan dengan aspek transparansi atau keterbukaan informasi.
“Bagaimana tidak? Peran publik dalam mengawasi tidak dapat berjalan, lantaran data, informasi, dan perkembangan terkait pemutihan sawit tidak terbuka kepada publik, bahkan saat Menteri LHK telah menyatakan bahwa proses ini dapat dibuka. Faktanya data resmi pemerintah sulit diakses, kami telah mencoba dengan bersurat resmi ke Kementerian LHK, namun tidak berbuah manis,” katanya di Bogor, kemarin.
Dia menambahkan satu-satunya informasi perkembangan proses pemutihan sawit didapat pasca melakukan perkara uji materiil di Mahkamah Agung (MA). Diketahui, pada September 2023, Sawit Watch melakukan Uji Materiil di MA atas peraturan teknis mekanisme pemutihan sawit yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan.
“MA telah memutuskan perkara ini pada 21 Desember 2023 dengan menolak permohonan uji materiil ini yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 P/HUM/2023. Melalui keputusan ini kami mendapatkan sejumlah fakta menarik terkait pemutihan sawit,” terang Achmad Surambo.
Dipaparkan, berdasarkan keterangan pemerintah bahwa terdapat sebanyak 3.690 subjek hukum pemutihan sawit yang tertuang pada 15 (lima belas) Surat Keputusan Menteri LHK yang telah dikeluarkan pada rentang Juni 2021 hingga Oktober 2023. Namun dari angka tersebut hanya terdapat 17 subjek hukum yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan hanya 35 subjek hukum yang dikenakan sanksi administratif (Denda, Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH dan Dana Reboisasi/DR). Adapun rincian perkembangan sanksi administratif periode 1 Januari 2023 sampai dengan 28 Oktober 2023 sebagai berikut, Denda Administratif berdasarkan PP 24/2021 yang telah terbayar berjumlah sebesar Rp 239 M, PSDH dari Keterlanjuran Tebang sebesar Rp. 61 M, dan DR dari Keterlanjuran Tebang sebesar Rp. 13 juta.
“Atas fakta tersebut kami melihat ada keterhubungan antara proses pemutihan sawit dengan celah tindak pidana korupsi dalam tata kelola sawit di kawasan hutan. Bahwa proses ini tidak berjalan maksimal, hanya segelintir perusahaan saja yang dikenakan mekanisme ini. Artinya kebijakan ini dipertanyakan efektifitasnya karena berjalan tidak sesuai harapan. Sudah seharusnya proses penegakan hukum kembali ditegakkan bagi korporasi yang melakukan kegiatan ilegal sawit, alih-alih melakukan pemutihan,” kata Achmad Surambo.
Senada, Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (Puraka) mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan analisis proses perkembangan penerapan sanksi administratif bagi usaha di kawasan hutan tanpa izin hingga Agustus 2022.
“Didapat data, bahwa penyelesaian kinerja Kementerian LHK dalam penyelesaian usaha dalam kawasan hutan tanpa izin masih sangat rendah dan lamban. Dari 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan data oleh KLHK, baru 240 subjek hukum yang telah melengkapi data, lalu baru 65 subjek hukum yang sudah sampai tahap dilakukan verifikasi lapangan dan 48 subjek hukum yang sudah sampai tahap penafsiran citra satelit resolusi tinggi serta sedikitnya 15 subjek hukum yang telah membayar denda,” kata Zali.
Ia menambahkan, sudah sejak awal transparansi dan akuntabilitas dari Kementerian LHK dinantikan publik, berapa besar denda yang sudah terkumpul dalam rekening KLHK. Siapa saja nama-nama pelaku usaha korporasi dan individu yang telah diloloskan atau diputihkan oleh KLHK harus dibuka secara transparan ke publik. Karena informasi yang berkembang penyelesaian denda ini diduga banyak kongkalikong dalam pengurusannya. Penggeledahan oleh Kejaksaan Agung diyakini terkait dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penentuan besaran denda tersebut”, terang Zali lebih lanjut.
Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menambahkan, bahwa sebagai kuasa hukum dari Sawit Watch, pihaknya perlu menindaklanjuti apa-apa yang mendasari putusan MA, utamanya bersandar dari keterangan pemerintah. Pertama, terkait tetap dijadikannya UU Cipta Kerja sebagai landasan, padahal undang-undang tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan telah diganti dengan Perpu yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang oleh DPR; dan Kedua terkait kesenjangan antara jumlah subjek hukum dengan jumlah yang ditangani oleh pemerintah.
“Kedua hal tersebut menunjukan bahwa perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja yang kemudian menjadi landasan hukum PP No. 24/2021 tidak cukup bisa didayagunakan.sehingga membuka peluang untuk diuji materikan di MK. Selain juga perlu perbaikan tata kelola penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan dan tata kelola kebun sawit itu sendiri sehingga tidak berwatak ekspansif,” kata Gunawan.
Achmad menambahkan, pihaknya juga melihat pembatasan pengembangan komoditas sawit perlu dilakukan dengan segera. Sebab, hasil kajian terbaru bersama aliansi masyarakat sipil lainnya menunjukkan bahwa batas atas luasan perkebunan sawit di Indonesia adalah sebesar 18,15 Juta hektar.
“Kami menuntut pemerintah agar fokus pada luasan sawit yang ada dengan mengedepankan intensifikasi dan memperbaiki tata kelola sawit dengan mengedepankan prinsip keterbukaan. Atas penggeledahan yang terjadi di Kementerian LHK, semoga saja proses yang berlangsung membawa titik terang apa yang sebenarnya terjadi. Fakta dan temuan perlu digali lebih dalam dan menyeluruh. Jangan sampai proses pembenahan tata kelola sawit yang selama ini dijalankan menjadi tidak optimal. Upaya-upaya perbaikan tata kelola sawit menuju keberlanjutan masih harus menempuh jalan panjang serta dibutuhkan kesungguhan dan komitmen penuh dari banyak pihak,” tambah Rambo. ***