Home > Nasional

Pilih Ketum Secara Aklamasi, Jamiluddin Ritonga: Partai Abaikan Demokrasi

Jamil melihat, partai seharusnya menjadi teladan dalam melaksanakan demokrasi, terutama saat pemilihan ketum.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). (Foto: Dok REPUBLIKA)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). (Foto: Dok REPUBLIKA)

RUZKA INDONESIA - Golkar, PAN, dan PKB memilih ketua umumnya (ketum) secara aklamasi.

Tiga partai tersebut memunculkan calon tunggal. Bahlil Lahadalia, Zulkifli Hasan, dan Muhaimin Iskandar pun terpilih menjadi ketum secara aklamasi.

Namun Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga, punya pandangan tersendiri.

"Pemilihan aklamasi mengingatkan pemilihan ketum partai pada era Orde Baru (Orba). Saat itu, terutama Golkar, kerap memilih ketumnya secara aklamasi," ungkap Jamil, Ahad (25/08/2024)

Menurutnya, memang ada juga pemilihan ketum partai yang tidak aklamasi. Namun satu calon yang dimunculkan hanyalah calon boneka yang memang untuk kalah.

"Jadi, di era Orba, pemilihan Ketum partai, memang tidak demokratis. Sebab, seseorang bisa menjadi ketum Golkar bila dikehendaki Soeharto. Karena itu, pemilihan ketum hanya justifikasi dan tameng masih ada demokrasi di partai," jelasnya.

Ditambahkannya, pemilihan ketum seperti itu sejalan dengan demokrasi semu yang dijalankan di era Orba. Demokrasi hanya tameng, yang sesungguhnya diterapkan hanyalah politik tirani kekuasaan.

Karena itu, lanjutnya, ketum partai politik harus mendapat restu Soeharto. Bila ada caketum yang lolos tapi tidak dikehendaki Soeharto, maka calon itu akan dihambat termasuk pelaksanaan kongres atau muktamar akan diganggu.

Gejala yang sama juga mengemuka saat pemilihan ketum Golkar, PAN, dan PKB. Sebelum pemilihan, sesungguhnya sudah diketahui siapa yang akan terpilih menjadi ketum.

"Munas atau Kongres atau Muktamar sengaja di-setting agar satu calon ketum yang muncul. Jalan untuk calon lain ditutup sehingga tak lagi berpeluang untuk maju," paparnya.

Jadi, pelaksanaan munas atau kongres atau muktamar hanya formalitas. Ketum yang akan terpilih sudah diketahui sebelum munas atau kongres muktamar.

"Jadi, terpilihnya Bahlil, Zulhas, dan Cak Imin menjadi ketum hanya melalui demokrasi formalitas. Di permukaan tampak demokratis, tapi sebetulnya tak ada demokrasi saat pemilihan ketum," tandas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Cara pemilihan ketum seperti itu tentu mematikan demokrasi di partai. Hal ini tentu memprihatinkan mengingat saat ini demokrasi dilaksanakan di semua bidang kehidupan.

Jamil melihat, partai seharusnya menjadi teladan dalam melaksanakan demokrasi, terutama saat pemilihan ketum. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

"Jadi, Golkar, PAN, dan PKB sudah mempertontonkan pemilihan ketum yang ademokratis. Hal itu tentu jadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di tanah air," pungkasnya. (***)

Editor: S Dwiyantho Putra

× Image