Jika Kamala Harris Jadi Presiden, AS Kemungkinan akan Berubah Arah Soal Israel di Palestina
RUZKA INDONESIA -- Jika Kamala Harris menjadi presiden, kebijakan Amerika Serikat (AS) soal penjajahan Israel, terutama di Gaza dan Tepi Barat, Palestina, akan berubah total. Harris menolak kebijakan pendahulunya yang terang-terangan membela Israel walau sudah masuk kategori genosida.
"Semiotika politik yang ditampilkan Kamala Harris sudah tampak. Ia menolak hadir untuk mendengarkan pidato Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Kongres AS, hari ini," ujar Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (25/07/2024).
Menurut Selamat Ginting, penolakan Kamala Harris menunjukkan itulah visi dan misinya jika kelak Partai Demokrat mempercayakan kepada dirinya untuk menjadi kandidat presiden sebagai pengganti Joe Biden yang mundur dari kontestasi pemilihan presiden (pilpres).
Biden mendapatkan mosi tidak percaya publik. Sebaliknya Kamala Harris kini elektabilitasnya sudah dua poin melewati Donald Trump, kandidat dari Partai Republik.
Dikemukakan, Wakil Presiden AS Kamala Harris, kini tengah menjadi sorotan dunia tentang visi dan misinya, termasuk kebijakan perempuan keturunan Jamaika Afrika dan India, Asia Selatan itu. Salah satunya soal perang Israel di Gaza, Palestina.
"Jadi sikap penolakan Kamala Harris merupakan sinyal yang jelas tentang kekhawatirannya atas jatuhnya korban sipil di Gaza," terang dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAS.
Seperti diketahui, korban tewas di Gaza hampir mencapai lebih dari 39 ribu jiwa dan hampir 90 ribu jiwa mengalami luka berat dan ringan.
Memang, lanjut Ginting, Kamala Harris tidak pernah secara eksplisit menentang kebijakan Presiden Joe Biden terkait Israel. Namun, secara implisit, ia berulang kali, menyerukan gencatan senjata dalam konflik tersebut.
"Kini dengan mundurnya Biden dari kontestasi pilpres, Kamala Harris berpeluang besar akan menang dalam konvensi presiden dari Partai Demokrat, tiga pekan ke depan. Sekaligus memiliki kesempatan untuk menduduki Gedung Putih, kantor Presiden AS," ungkap Ginting.
Ginting melanjutkan, jika Kamala Harris berhasil menjadi presiden, ia akan membuat catatan baru soal sikap AS terhadap pemerintahan zionis Israel yang abai terhadap masalah kemanusiaan.
"Sebagai perempuan, hati nuraninya tinggi terhadap masalah kemanusiaan. Ia pun mantan Jaksa Agung California, sehingga harus menunjukkan keberpihakannya kepada hukum internasional yang menyatakan kehadiran Israel di Gaza ilegal," tutur Ginting.
Menurutnya, konflik antara Joe Biden dengan Kamala Harris yang tidak bisa ditutupi utamanya soal keberadaan Israel di Gaza. Sebagian publik AS, termasuk para mahasiswa yang terus menyuarakan agar Biden tidak memberikan dukungan terhadap kebiadaban Israel.
"Saya pikir tindakan AS mendukung genosida Israel di Gaza adalah tindakan memalukan, karena Amerika menganggap dirinya sebagai kampium demokrasi. Padahal demokrasi itu menentang kesewenangan-wenangan. Apalagi penjajahan di era modern seperti saat ini," jelas Ginting.
Publik Amerika, lanjut Ginting, menunjukkan harapan besar agar Kamala Harris bisa menjadi presiden ke 47 AS. Antara lain dengan banjirnya sumbangan untuk kampanye Kamala hingga kemarin mencapai sekitar Rp4 Triliun. Publik mulai mengabaikan masalah gender dan orang tua Kamala Harris yang keturunan Jamaika dan India.
"Itulah bentuk kemarahan publik AS terhadap Biden yang dinilai sangat mendukung perang Israel terhadap Hamas sejak serangan pada 7 Oktober 2023 lalu. Biden terus memberikan bantuan militer kepada pemerintah zionis Israel," ungkap Ginting.
Dikemukakan, pada Maret 2024 lalu, Kamala Harris secara mengejutkan membuat pernyataan seruan kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan yang sangat besar. Termasuk kritik keras terhadap Israel yang memblokade pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
"Sikap Kamala Harris otomatis berbeda pula dengan kandidat Presiden Donald Trump yang terang-terangan akan membantu Israel. Sikap Kamala Harris membuat dunia lega, karena ada kandidat Presiden AS yang mau mendengarkan protes dunia internasional," papar Ginting. (***)