Jangan Panggil Saya Profesor
RUZKA INDONESIA -- Nama itu tiba-tiba menjadi viral di media sosial (medsos). Fathul Wahid orangnya. Narasinya sungguh berani dan mengejutkan banyak orang. Di akun media sosialnya (Instagram), dirinya menulis.
“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “Prof”. Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan”.
Siapakah beliau? Saya yakin belum banyak orang mengenalnya. Begitu juga saya. Maka, dimulailah pencarian siapa sosok beliau yang bilang semacam ini.
Tentu, banyak pemberitaan yang kemudian menggali lebih banyak tentang sosok teladan ini.
Sosok ini adalah Rektor Universitas Islam Indonesia (UII). "Gelar" lengkapnya, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. Tak cuma “omon-omon” sekadar pingin viral. Permintaan agar jangan lagi dipanggil profesor ini disampaikan secara resmi melalui Surat Edaran 2748/Rek/10/SP/VII/2024. Ia meminta gelar akademiknya tidak ditulis lagi dalam dokumen-dokumen kampus kecuali ijazah dan transkrip nilai.
Saya kira. Ini sebuah narasi yang menarik.
Indonesia membutuhkan narasi-narasi semacam ini. Sebuah pesan yang ingin disampaikan. Ini tafsiran saya. Ke internal, kaum akademis jangan “Gila Hormat”, ke eksternal, saya kira itu sebuah sindiran dan kritik atas fenomena pejabat yang dapat gelar guru besar lewat jalur yang “tidak seharusnya, tidak sepantasnya”.
Jabatan ini, menurut UU Nomor 14/2005, guru besar atau profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang punya wewenang membimbing calon doktor. Jelas memang, kehadiran guru besar perlu bagi sebuah institusi kampus untuk menegaskan kematangan akademik dosen pada suatu bidang keilmuan yang ditekuni. Kehadiran guru besar juga diharapkan dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran. Tentu saja, Profesor juga harus bisa memberikan keteladanan atmosfer akademik.
Nah sekarang, apakah narasi desakralisasi gelar akademik bakal mendapat sambutan baik publik?
Saya tak yakin. Di keseharian, sering kita jumpai, seorang calon doktor misalnya ketika jadi pembicara seolah tak sabar cantumkan gelar. Jadinya, tercantum semisal Doktor (Cand). Maklum, gelar masih jadi semacam status sosial. Begitu juga profesor, tentu mentereng seseorang yang berhasil meraihnya dan menyematkannya. Walau sebenarnya, profesor sendiri jabatan, bukan gelar akademik.
Tapi setidaknya, keberanian dan keteladanan “Mas Fathul” menjadi semacam pengingat penyandang gelar misalnya Doktor atau Profesor agar tidak jumawa tapi tetap rendah hati dengan keilmuwan yang dimiliki. Satu hal yang pasti, cerita, narasi akal sehat seperti ini perlu diapresiasi. Tak perlu mendewakan gelar akademik yang dimiliki. Tentu, ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu kontribusi keilmuwan.
Apa bentuk konkritnya? Saya kira ya hasil-hasil penelitian, karya-karya jurnal ilmiah dan tentu saja buku. Khusus buku, itulah sebenarnya modal “personal branding” kaum akademisi. Karya buku yang bisa dengan sendirinya bangun otoritas keilmuwan seseorang. Bukan panjangnya gelar yang disandang. (***)
Penulis: Yons Achmad/Kolumnis. Founder Brandstory Indonesia