17 Konsesi Kelapa Sawit Anak Usaha AAL Tumpang Tindih dengan 17.664 Hektar hutan RI
RUZKA INDONESIA - Friends of the Earth AS, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) merilis laporan terbaru terkait konflik agraria yang berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya akuntabilitas mewarnai operasi Astra Agro Lestari (AAL) di Indonesia.
Laporan berjudul Cultivating Conflict: How Astra Agro Lestari, Brands and Big Finance Capitalize on Indonesia’s Governance Gaps (Memupuk Konflik: Bagaimana Astra Agro Lestari, Merek, dan Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia) merinci bagaimana merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis yang memasok produknya ke AAL serta para pemodal yang mendanai AAL mengambil keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan dan kegagalan administratif di Indonesia demi menjaga kelangsungan usaha mereka.
Temuan-Temuan Utama dalam laporan tersebut meliputi 17 konsesi kelapa sawit anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan 17.664 hektar kawasan hutan Indonesia. 74 persen dari konsesi AAL di kawasan hutan berada di Sulawesi, di mana 7 konsesi anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 13.000 hektar kawasan hutan Indonesia.
Diungkapkan juga sedikitnya 1.100 hektar perkebunan kelapa sawit AAL di kawasan hutan Indonesia tampaknya ilegal; Tiga anak perusahaan AAL di Sulawesi beroperasi tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU); Pedagang agribisnis ADM, Bunge, Cargill, dan Olam - di antara yang lainnya - terus membeli minyak sawit dari pabrik yang terkait dengan anak perusahaan AAL yang terlibat; Sedikitnya 18 merek konsumen global, termasuk Unilever, Barry Callebaut, dan General Mills, memiliki sejarah pembelian minyak kelapa sawit dari AA; Pemodal termasuk BlackRock, Vanguard, HSBC, dan dana pensiun Belanda ABP terus memberikan pendanaan yang cukup besar kepada AAL dan perusahaan induknya.
“Perampasan tanah, pelanggaran hak asasi manusia, dan operasi ilegal yang dilakukan AAL harus menjadi peringatan,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Uli menyatakan Pemerintah Indonesia harus memastikan tanah yang dirampas oleh AAL dikembalikan kepada masyarakat dan petani. Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus menyelidiki peta dan izin AAL dan memastikan akses terbuka terhadap data ini. Komnas HAM (komisi nasional hak asasi manusia di Indonesia) harus menyelidiki pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang dilakukan AAL dan secara transparan melaporkan hasil dari proses ini.
“Perusahaan perkebunan yang melanggar perundang-undangan terkait perizinan di Indonesia harus dicabut izinnya. Untuk melindungi rimba terakhir Indonesia, perluasan perkebunan di dalam kawasan hutan harus dihentikan,” kata Uli
Laporan hari ini diluncurkan dua tahun setelah federasi Friends of the Earth menerbitkan bukti pelanggaran lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang dilakukan AAL, termasuk perampasan tanah dengan kekerasan, kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan hidup, dan degradasi sungai. Sebagai respon atas tindakan-tindakan tersebut, merek-merek konsumen dan pemodal harus memikirkan kembali hubungan bisnis mereka yang pasti semakin berisiko dengan AAL.
Sejak tahun 2022, sepuluh merek konsumen telah menangguhkan pembelian minyak sawit dari anak perusahaan AAL dalam kapasitas tertentu.
Pada bulan Februari, Norges Bank mengumumkan bahwa mereka telah mengeluarkan perusahaan induk AAL, Jardine Matheson dan Astra International dari Dana Pensiun Global Pemerintah Norwegia. BlackRock – manajer aset terbesar di dunia – telah memilih menentang para direktur AAL dan perusahaan induk Astra International karena pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia yang sedang berlangsung.
Alih-alih menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat dan menangani keluhan yang berkepanjangan, AAL justru menyangkal bahwa tuduhan Friends of the Earth "tidak berdasar."
Pada tahun 2023, AAL memulai proses investigasi sepihak yang cacat , gagal memeriksa sebagian besar pelanggaran yang dipublikasikan dalam laporan tahun 2022 dan mengesampingkan fakta bahwa AAL tidak pernah mendapatkan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dari masyarakat untuk membuka lahan mereka. AAL terus bersikukuh bahwa FPIC tidak relevan mulai sejak operasi perusahaan dijalankan, meskipun berbagai hukum dan mekanisme internasional telah menegaskan bahwa FPIC berlaku sepanjang masa operasi, dan terutama berlaku ketika masyarakat berkonflik dengan perusahaan dan digusur dari tanah mereka.
"Perusahaan dapat membuat komitmen retorik untuk menegakkan hak asasi manusia dan mewujudkan keberlanjutan lingkungan, tetapi bicara saja tidak cukup - diperlukan akuntabilitas," kata Gaurav Madan, Juru Kampanye Hak Hutan dan Lahan Senior di Friends of the Earth Amerika Serikat.
"Sudah jelas bahwa AAL tidak pernah mendapatkan persetujuan dari masyarakat untuk beroperasi di lahan mereka dan mengabaikan hak atas FPIC. Merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis harus menangguhkan pembelian minyak kelapa sawit dari AAL dan menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan lahan dikembalikan. Para pemodal harus mengadopsi kebijakan pengecualian agribisnis yang mengalihkan investasi dari model perkebunan monokultur yang dominan dan merusak," imbuh Gaurav