Menteri Kelautan dan Perikanan Ajak Peneliti UI Gali Potensi Laut Indonesia, Kembangkan Ekonomi Biru
RUZKA INDONESIA -- Dalam rangka memperingati World Ocean Day 2024, Universitas Indonesia (UI) berkolaborasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (RI) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, mengadakan acara Bincang Bahari bersama Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ir. Sakti Wahyu Trenggono, M.M. Kegiatan yang dihadiri lebih dari 300 peserta tersebut dilaksanakan di Balai Sidang UI Depok, Kamis (06/06/2024).
Pada pembukaan acara tersebut, Menteri Sakti menyampaikan peran penting laut bagi kehidupan manusia.
“Kita hidup sangat tergantung dengan kesehatan laut. Udara yang kita hirup dari laut, air yang kita minum kondensasi dari laut, dan CO2 yang dikeluarkan akibat aktivitas manusia baik itu kegiatan industri, pertanian, maupun dari makhluk hidup diserap oleh laut lima kali lebih besar daripada oleh hutan di darat. Jadi, betapa pentingnya laut. Jika laut rusak, berakhirlah kehidupan manusia,” terangnya.
Untuk menjaga kesehatan dan kelestarian laut, Menteri Sakti menilai perlunya mengembangkan ekonomi biru, yakni pemanfaatan sumber daya laut untuk ekonomi berkelanjutan, dengan tetap menjaga kesehatan ekosistem laut.
Pemerintah menetapkan lima poin penting dalam kebijakan ekonomi biru. Pertama, perluasan kawasan konservasi laut. Kedua, penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
Ketiga, pengembangan perikanan budidaya di laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan. Keempat, pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terakhir, pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan.
Dalam implementasi kebijakan tersebut, pemerintah turut melibatkan perguruan tinggi pada kebutuhan riset dan inovasi. Menurut Menteri Sakti, ada dua jenis ketahanan yang harus dimiliki oleh negara, yakni pangan dan kesehatan.
"Laut Indonesia menyumbang kebutuhan protein dari ikan yang cukup melimpah, namun kita belum mampu memanfaatkan biota laut untuk kebutuhan obat. Sebanyak 90% lebih bahan obat-obatan masih diimpor dari negara lain, rata-rata 52 triliun rupiah/tahun, termasuk di dalamnya obat bahan alam (OBA) dari biota laut. Untuk itu, kolaborasi dengan para peneliti, terutama peneliti UI, perlu dilakukan dalam upaya mengembangkan potensi ini,” jelasnya.
Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset UI, Prof. Dr. Ir. Dedi Priadi, DEA, mengatakan bahwa UI mendukung penuh riset dan inovasi dalam pengembangan sumber daya laut yang berkelanjutan.
Menurutnya, sebagai universitas yang berkomitmen terhadap keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, UI bertanggung jawab untuk berkontribusi dalam bidang keilmuan, sekaligus mengedukasi dan menanamkan pentingnya kelestarian laut kepada masyarakat. Dengan adanya kolaborasi ini, ke depannya diharapkan akan tercipta inovasi yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga kelestarian ekosistem laut.
“Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita mengenai kondisi laut Indonesia, serta mendorong tindakan nyata dalam upaya pelestarian laut. Ke depannya, kolaborasi dapat dijalankan bersama untuk menangani berbagai permasalahan kelautan. Hasil diskusi ini semoga memberikan kontribusi berarti dalam upaya pelestarian laut dan mendukung kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya kelautan yang berkelanjutan,” papar Prof. Dedi.
Topik “Memanfaatkan Potensi Bioteknologi, Biofarmakologi Kelautan, dan Sea Water Mining” dalam diskusi tersebut diulas oleh tiga narasumber, yakni Dekan Fakultas Farmasi UI, Prof. Dr. apt. Arry Yanuar, M.Si.; Direktur Jasa Kelautan RI, Dr. Miftahul Huda, M.Si.; dan Founder PT Rahasia Wasiat Alam, Rangga Warsita Aji. Menurut para narasumber, prospek ekonomi industri bioteknologi, termasuk biofarmakologi, bagi perekonomian nasional sangat baik.
Prof. Arry menyebut, lebih dari 70% permukaan bumi mengandung 2,2 juta organisme laut, terumbu karang 2% dari dasar laut, sementara terumbu karang adalah rumah bagi 25% spesies laut. Untuk mengedintifikasi keragamannya, dibutuhkan penelitian lebih banyak, salah satunya melalui bioprospeksi laut.
“Bioprospeksi laut adalah upaya ilmiah untuk mencari dan mengeksplorasi sumber biologi dan genetik lokal untuk membawa biodiversitas menjadi produk komersial. Indonesia memiliki kekayaan komersil yang besar dalam bioprospeksi laut, namun butuh investigasi lanjutan, ide, skill, dan visi yang besar. Oleh karena itu, perlu adanya basis data yang komprehensif untuk memetakan potensi produk alam laut Indonesia,” jelas Prof Arry.
Terkait tantangan pengembangan produk alam laut ini, Dr. Huda juga melihat adanya standardisasi bahan baku untuk industri farmasi yang belum dikuasai oleh sebagian UMKM di Indonesia. Industri farmasi belum terintegrasi dengan sumber-sumber bahan baku dalam negeri, termasuk yang berbahan dari biota perairan. Industri bioteknologi kelautan belum berkembang karena keterbatasan sarana pendukung dan sumber daya manusia.
Selain pemanfaatan bioteknologi dan biofarmakologi kelautan, Sea Water Mining juga dibahas dalam diskusi tersebut. Sea Water Mining merupakan upaya pemanfaatan air laut yang memiliki potensi ekonomi sangat besar.
Saat ini, pemanfaatan air laut mencakup ekstraksi air laut untuk menghasilkan garam, pemurnian air laut (desalinasi) untuk menghasilkan air bersih dan air minum, serta penggunaan air laut sebagai media dalam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Ke depannya, pemanfaatan air laut diharapkan dapat dioptimalisasi karena air laut memiliki mineral yang sangat kaya, sehingga dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk menghasilkan berbagai mineral yang diperlukan. (***)