Jangan Kaget, Kerugian Akibat Korupsi Timah yang Libatkan Suami Sandra Dewi Capai Rp271 Triliun
RUZKA INDONESIA -- Saat ini Harvey Moeis, suami dari Sandra Dewi, terus menjadi sorotan. Pasalnya, ia telah terjerat dalam kasus dugaan korupsi yang terkait dengan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk selama periode 2015-2022. Kejaksaan Agung (Kejagung) RI telah menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
"Dari hasil pemeriksaan yang mendalam, tim penyidik telah mengumpulkan bukti yang cukup untuk meningkatkan statusnya menjadi tersangka," ungkap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi, kepada media pada Rabu (27/3).
Kuntadi menjelaskan bahwa Harvey Moeis berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT RBT. Atas perannya itu, Harvey telah berkomunikasi dengan Direktur Utama PT Timah, yaitu MRPT, antara tahun 2018 dan 2019.
"Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya disepakati bahwa kegiatan tersebut akan dicatat sebagai penyewaan peralatan pengolahan timah, yang kemudian Harvey Moeis menghubungi beberapa smelter, termasuk PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk terlibat dalam kegiatan tersebut," tambahnya.
Menurut Kuntadi, Harvey kemudian meminta pihak smelter untuk membagi sebagian keuntungan dengan dirinya. Keuntungan tersebut kemudian diberikan kepada Harvey dengan dalih pembayaran dana CSR.
Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan suami Sandra Dewi ini menyebabkan kerugian yang cukup besar.
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mencatat bahwa kerugian ekologis yang diakibatkan oleh korupsi tersebut mencapai Rp271 triliun. Angka ini didasarkan pada perhitungan oleh ahli lingkungan dari IPB, yaitu Bambang Hero Saharjo.
Kuntadi menjelaskan bahwa perhitungan tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014 tentang kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Dalam konteks kasus ini, nilai kerugian lingkungan terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun. Ketiga, biaya pemulihan lingkungan yang mencapai Rp12,1 triliun.
Meskipun begitu, Kuntadi menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut masih bersifat perkiraan. Saat ini, penyidik masih menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat aksi korupsi tersebut.