Pemuda-pemudi Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Generasi muda saat ini tumbuh di tengah kecemasan soal krisis iklim yang terus memburuk.
Mereka menanggung beban dari keputusan ekonomi masa lalu yang menempatkan pertumbuhan di atas keberlanjutan, merasakan suhu bumi yang semakin panas, polusi udara yang semakin pekat, bencana banjir yang semakin sering, kekeringan dan kerusakan lingkungan, serta dampak sosial lainnya.
Pada momentum Sumpah Pemuda tahun ini, generasi muda Indonesia menyuarakan keresahan dan tuntutan atas tanggung jawab pemerintah terhadap krisis iklim.
Dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet bertajuk “Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim”.
Dua narasumber: Febriani Nainggolan, Campaign & Communication Staff Climate Rangers, dan Dian Irawati, Co-Founder Kawula17, mengulas hasil riset terbaru yang menggambarkan meningkatnya kesadaran sekaligus kekecewaan Gen Z terhadap penanganan krisis iklim di Indonesia, Selasa. (28/10/2025).
Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan bahwa anak muda sadar bahwa apa yang mereka rasakan saat ini adalah dampak perubahan iklim. Namun, sebagian besar masih memandang krisis iklim sebatas cuaca ekstrem (95,5%).
“Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob,” ujar Febriani Nainggolan.
Ia menambahkan, anak yang lahir pada tahun 2020 akan mengalami dampak krisis iklim yang jauh lebih parah dibandingkan generasi kakeknya. Mereka mengalami gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, dan banjir besar dua kali lebih intens.
Menurut Febri, tanggung jawab terbesar dalam menghadapi krisis iklim berada di tangan pemerintah.
Baca juga: Seremoni Kecil Peringatan Sumpah Pemuda di Kantor PWI Depok, Ketika Kata Menemukan Rumahnya Kembali
Namun, 62,4 persen responden merasa bahwa pelibatan orang muda oleh pemerintah masih bersifat tokenisme atau sekadar formalitas tanpa makna.
"Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya,” tegas Febri.
Diskusi ini mengundang perwakilan Kemenpora namun tidak hadir. Moderator Fiorentina Refani mengatakan jangan melibatkan Gen Z hanya sekedar meramaikan panggung, namun masukannya harus diakomodir.
"Untuk pemerintah yang tidak hadir dalam diskusi ini, simaklah masukan dari kami: ubah kebijakan Pemerintah untuk generasi muda. Ambil sikap lebih ambisius dalam mengurangi emisi,” tegasnya.
Baca juga: Perkemahan Pramuka Masjid Pantai Bali, Satu Iman, Alam dan Pengabdian
Semakin Banyak Gen Z Menjadi Aktivis Lingkungan
Dian Irawati dari lembaga riset Kawula17 juga mengungkapkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaganya.
Dalam survei publik pada kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden, kata Dian, ada dua isu utama yang disoroti oleh masyarakat, yakni inefisiensi pengelolaan sampah (33%), dan kerusakan lingkungan akibat tambang (32%).
Meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini didorong oleh maraknya publikasi terkait hal-hal yang merusak alam Indonesia, seperti kasus di Raja Ampat yang memicu kampanye #SaveRajaAmpat, serta isu perampasan hutan adat (26%) yang turut mengemuka lewat kampanye #SavePulauPadar.
"Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia,” kata Dian.
Menurut Dian, survei terpisah terhadap 1.342 responden muda menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat aktivisme.
“Sebanyak 42 persen tergolong participant - naik dari yang sebelumnya hanya spectator - dan 35 persen activist. Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” jelas Dian.
Namun, Dian menyoroti bahwa anak muda sering dipandang sebagai beban, bukan pihak yang rentan dan harus dilindungi.
“Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusnya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan mereka,” ungkapnya.
Untuk mengatasi krisis iklim Febri melanjutkan, dunia sudah menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan tingkat pra-industri. Sayangnya saat ini suhu telah meningkat 1,3°C.
Bahkan dalam skenario paling optimistis, kenaikan diperkirakan mencapai 1,9°C, melampaui ambang batas aman. “Kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan,” ujar Febri.
Melalui jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, anak muda Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Untuk dunia, Climate Rangers menuntut kebijakan iklim yang adil dan ambisius, transisi berkeadilan, keadilan finansial dan pertanggungjawaban historis, serta partisipasi bermakna orang muda.
Sedangkan untuk Pemerintah Indonesia, Climate Rangers menuntut pengesahan kebijakan berkeadilan iklim, penghentian solusi palsu, percepatan transisi energi berkeadilan, pendanaan solusi rakyat, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan lingkungan. (***)
