Home > Kolom

Ketika Api Sumpah Itu Nyaris Padam, (Refleksi Tema Sumpah Pemuda 2025: Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu)

Hari ini, seperti juga puluhan tahun yang lalu, 28 Oktober kembali datang membawa aroma sejarah.
Foto logo Hari Sumpah Pemuda 2025 (Foto: Dok Kemenpora RI)
Foto logo Hari Sumpah Pemuda 2025 (Foto: Dok Kemenpora RI)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Hari masih pagi. Matahari seperti malas menampakkan dirinya. Sang surya tertutup awan yang agak hitam, menggantung rendah di langit, seolah menahan cahaya agar tak jatuh ke bumi terlalu cepat.

Udara lembap, jalanan masih basah oleh sisa hujan tadi malam. Di kejauhan, terdengar suara burung yang ragu-ragu memecah sepi seperti menandai datangnya hari yang tak biasa.

Ada sesuatu di udara yang terasa berbeda. Bukan karena kabut atau dingin yang menempel di kulit, tapi karena ingatan yang tiba-tiba mengapung di antara waktu.

Hari ini, seperti juga puluhan tahun yang lalu, 28 Oktober kembali datang membawa aroma sejarah.

Baca juga: Catatan Cak AT: Revolusi Piring dan Protein

Dari kalender yang nyaris usang, kita mendengar gema masa lalu: langkah-langkah pemuda yang pernah mengguncang keheningan negeri.

Mereka tak membawa senjata, hanya keyakinan bahwa kata bersatu lebih tajam dari sebutir peluru, dan sumpah bisa lebih kuat dari kekuasaan. Kini, hampir seabad berlalu, gema itu masih bergulir, menanyakan hal yang sama: masihkah kita setia pada nyala itu?

Gerak yang Tak Lagi Menuju

Zaman ini adalah zaman yang serba cepat, tapi terburu-buru. Semua berlomba bergerak, tapi tak semua tahu hendak ke mana. Anak muda kini seperti ombak ramai, indah, tapi mudah pecah di karang. Kita berpindah dari satu isu ke isu lain seperti menelusuri feed Instagram: kagum sebentar, lalu lupa.

Padahal gerak yang sejati bukan tentang kecepatan, tapi arah. “Pemuda bergerak” bukan tentang viralitas, tapi keberanian. Keberanian untuk menolak ketidakadilan walau sendiri. Keberanian untuk diam dan berpikir ketika dunia memaksa kita berteriak. Keberanian untuk tidak ikut arus hanya karena arus itu ramai. Itulah yang kini makin langka, gerak yang lahir dari kesadaran, bukan dari kehebohan.

Baca juga: Seremoni Kecil Peringatan Sumpah Pemuda di Kantor PWI Depok, Ketika Kata Menemukan Rumahnya Kembali

Bersatu dalam Zaman yang Retak

Dan soal “Indonesia Bersatu”, dua kata yang kini terdengar seperti puisi yang indah tapi jarang dihafal. Kita hidup di masa di mana jarak tak diukur lagi oleh kilometer, tapi oleh perbedaan pandangan. Suku, agama, warna kulit, partai politik, bahkan gaya bicara semua bisa jadi alasan untuk memisahkan.

Kita sering lupa bahwa Indonesia tidak dibangun dari keseragaman, tapi dari keberanian untuk berbeda dan tetap bersama. Persatuan, sejatinya, bukan meniadakan warna melainkan menjahitnya menjadi bendera merah putih. Dan jahitan itu, hari ini, mulai longgar. Ditarik ke sana-sini oleh ego dan ambisi yang tak sabar menunggu giliran.

Maka, tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu” bukan hanya sebuah seruan, tapi permohonan Ibu Pertiwi, bergeraklah dengan hati, bersatulah dengan empati.

Baca juga: Perkemahan Pramuka Masjid Pantai Bali, Satu Iman, Alam dan Pengabdian

Api Itu Harus Dijaga, Bukan Sekadar Diperingati

Saya berpendapat, peringatan Hari Sumpah Pemuda tidak boleh berhenti di seremoni. Kita sudah terlalu sering menyalakan lilin peringatan, tapi jarang menyalakan obor perubahan.

Saya ingin melihat generasi muda hari ini tidak hanya jadi trending topic, tapi trend of hope.

Bahwa di tengah riuhnya dunia digital, masih ada yang memilih turun ke jalan, mengajar anak di pelosok negeri, menanam pohon, menulis buku, memulai usaha kecil, atau sekadar menolak ikut menyebar kebencian bahkan membasmi isu-isu hoaks. Gerakan kecil, tapi nyata. Karena bangsa ini tidak butuh pemuda yang sempurna, ia butuh pemuda yang mau mencoba.

Sumpah Pemuda 1928 adalah kisah keberanian memulai sesuatu yang tak pasti. Peringatan Sumpah Pemuda 2025 hari ini adalah ujian keberanian untuk melanjutkannya. Jika dulu mereka berjuang untuk merdeka, kini kita harus berjuang agar kemerdekaan itu tetap berarti.

Saya membayangkan, di langit yang sama, para pemuda 1928 menatap kita dari jauh. Mereka mungkin tersenyum kecut, melihat kita sibuk berdebat di kolom komentar, mengira itu perjuangan.

Tapi mungkin juga mereka masih percaya bahwa di balik riuh dunia yang penuh distraksi, masih ada bara yang menunggu disulut oleh satu tekad sederhana: cinta pada Tanah Air.

Baca juga: DPRD DKI Dukung Pembangunan Rumah Sakit Tipe A di Lahan Sumber Waras

Pada akhirnya, Sumpah Pemuda bukan hanya tentang masa lalu yang dikenang, tapi tentang masa depan yang terus menuntut keberanian baru. Ia bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan cara bangsa ini bernafas setiap kali anak mudanya memilih untuk tidak menyerah.

Karena di setiap zaman, selalu ada yang mencoba memadamkan nyala itu. Tapi selama masih ada satu hati yang mau bergerak, satu langkah yang mau mendekat, satu suara yang mau menyebut nama Indonesia dengan cinta, api itu tak akan pernah benar-benar padam.

Dan mungkin, itulah cara paling sederhana untuk menjadi pemuda hari ini, menjaga bara itu tetap menyala, agar negeri ini tak kehilangan hangatnya.

Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97. Bergeraklah, walau satu langkah. Bersatulah, walau berbeda arah. Sebab bila api itu padam, maka padamlah harapan bangsa. (***)

Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

Image
rusdy nurdiansyah

rusdynurdiansyah69@gmail.com

× Image