Melepas Jerat Hambatan Non-Tarif demi Harga Pangan Terjangkau

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Harga bahan pangan yang tinggi masih menjadi momok bagi keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia. Salah satu pemicunya datang dari kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff measures/NTM). Aturan yang diharapkan melindungi industri dalam negeri itu justru bisa menjerat akses masyarakat terhadap pangan terjangkau.
Pemerintah perlu menyikapi hambatan non-tarif dan mengutamakan kondisi konsumen. Langkah korektif yang dapat ditempuh yakni dengan menyederhanakan penerapan NTM, khususnya dalam sektor pangan.
“Penggunaan NTM memang lazim untuk menjaga kinerja perdagangan dalam negeri. Namun, penggunaan yang berlebihan dapat mempengaruhi struktur pasar dan menambah beban biaya pada dunia usaha yang pada akhirnya berdampak pada konsumen,” ujar Analis Kebijakan dan Peneliti Center for Indonesian Policy studies (CIPS) Hasran di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Hambatan non-tarif merujuk kepada langkah pemerintah membatasi perdagangan luar negeri, selain dengan bea masuk atau tarif impor. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian per Mei 2025, terdapat sekitar 370 hambatan non-tarif yang diterapkan di Indonesia.
Angka ini menurun dibandingkan data penelitian CIPS tahun 2020 yang mencatat 466 hambatan non-tarif pada komoditas pangan dan pertanian. Meski demikian, penerapan yang berlebihan dan rumit tetap berpotensi merugikan konsumen. Padahal, kebijakan ini dibuat dengan tujuan melindungi industri lokal dan menjaga stabilitas harga serta pasokan pangan di pasar.
Regulasi tentang kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga, serta langkah-langkah anti persaingan membuat harga pangan menjadi tinggi. Keluarga berpenghasilan rendah pada akhirnya dirugikan karena sulit mendapatkan bahan pangan terjangkau.
Penyederhanaan hambatan non-tarif adalah alternatif konkret untuk menekan harga pangan dan mengurangi kemiskinan. Simulasi penelitian CIPS tahun 2021 memperkirakan bahwa penghapusan seluruh hambatan non-tarif pada beras dan daging dapat menurunkan tingkat kemiskinan hingga 2,83%.
Penurunan harga pangan akibat pelonggaran hambatan ini meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah yang menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan pokok.
Dengan kata lain, ketika harga pangan lebih terjangkau, kesejahteraan meningkat dan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dapat menyempit. Temuan ini tetap relevan hingga kini, mengingat berbagai hambatan non-tarif masih diterapkan pada komoditas pangan strategis.
CIPS merekomendasikan tiga jenis reformasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk membantu meredam dampak penerapan hambatan non-tarif.
Pertama, Kementerian Perdagangan perlu meninjau kembali hingga mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan NTM yang masih berlaku. Keuntungan dan kerugian setiap kebijakan itu perlu diidentifikasi. Hambatan yang memicu kenaikan harga pangan juga perlu segera dihapus.
Kedua, Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Pertanian perlu memperkuat infrastruktur dan sistem untuk menekan biaya kepatuhan.
Ketiga, Kementerian Perdagangan sebaiknya mengganti sistem kuota impor dengan sistem perizinan impor otomatis yang dapat mendorong transparansi, kepastian, dan kemudahan perdagangan.
"Reformasi kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan pangan, mendorong daya saing sektor pertanian, dan memastikan masyarakat mendapatkan akses pangan yang terjangkau tanpa terbebani aturan NTM yang berbelit," tegasnya.
