Home > Kolom

Catatan Cak AT: Reformasi Kepolisian (1)

"Reformasi Polri," katanya, "bukan sekadar soal mengubah nama dari ABRI jadi Polri.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Reformasi Kepolisian. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Reformasi Kepolisian. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Dalam sebuah forum diskusi awal pekanan Insan Cita alumni HMI, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra berbicara bukan sekadar sebagai Menteri, melainkan sebagai saksi sejarah yang ikut menulis naskah panjang tentang kelahiran Polisi Indonesia yang sipil.

Ibarat bidan yang membantu kelahiran bayi reformasi dari rahim Orde Baru yang sesak, Yusril-lah salah seorang yang memotong tali pusar antara militer dan kepolisian —dengan darah, tinta, dan perdebatan konstitusional.

Tapi kini, dua dekade lebih berselang, sang bidan itu seperti menatap anak didiknya yang tumbuh jadi "gagah tapi galak" —lebih mirip prajurit lapangan daripada pelindung rakyat.

Baca juga: HUT DPD RI, Senator Jakarta Gelar Donor Darah dan Bagi Susu serta Snack Bergizi di Kepulauan Seribu

"Reformasi Polri," katanya, "bukan sekadar soal mengubah nama dari ABRI jadi Polri.

Tapi mengubah jiwa: dari militeristik menjadi sipil. Dari komando menjadi nurani."

Yusril mengingatkan, sejarah pemisahan Polri dari TNI bukanlah hadiah, tapi hasil pergulatan panjang antara akal sehat dan kekuasaan.

Sejak masa Presiden Soeharto, ketika polisi masih berbaris dalam bayang-bayang Angkatan Darat, hingga masa B.J. Habibie yang berani menandatangani Ketetapan MPR No. VI dan VII Tahun 2000.

Semuanya dirintis agar polisi "tidak lagi berseragam perang dalam damai."

Baca juga: FMIPA UI Gali Potensi Ekonomi Biru di Pulau Harapan

Ia sendiri, bersama almarhum Matori Abdul Jalil, ikut mengarsiteki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. "Saya yang mewakili pemerintah waktu itu," ujarnya. Dan semangatnya jelas: polisi harus sipil, profesional, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden —bukan jadi "angkatan bersenjata keempat" yang hanya berganti seragam.

Namun kini, kata Yusril, semangat itu mulai melenceng. Polri justru menampilkan wajah lama dengan pendekatan keras. Mereka melempar gas air mata, memanggul senjata api, dan bergaya komando bak di medan perang. "Polisi seolah kembali ke barak," katanya lirih tapi tegas, "padahal rakyatlah yang mestinya mereka jaga, bukan lawan yang harus ditaklukkan."

Ia mengingatkan bahwa cita-cita reformasi dulu bukan hanya soal institusi, tapi soal jiwa. Polisi diharapkan menjadi penjaga keamanan masyarakat, bukan penjaga kekuasaan. Melayani dengan empati, bukan mengendalikan dengan intimidasi.

Karena itu, ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian, Yusril menyambutnya positif. Tinggal menunggu waktu. Struktur tampaknya sudah dibuat, tinggal melengkapinya dengan nama-nama.

Baca juga: ASN Pemkot Depok Diminta Terapkan Budaya 5S

Ia sepakat banget. Tapi dengan satu catatan: jangan ulangi kesalahan lama. "Kalau hanya reformasi struktur tanpa reformasi kultur, hasilnya nihil," ujarnya. "Yang harus dibenahi bukan hanya undang-undangnya, tapi juga mental, pendidikan, dan orientasi kekuasaan dalam tubuh Polri."

Yusril menolak menjawab apakah dirinya akan dilibatkan dalam komisi tersebut. Dengan senyum datar khas akademisi yang menyimpan ironi, ia hanya berkata, "Saya sudah sejak dulu terlibat dalam reformasi Polri. Kalau Presiden menilai pengalaman saya masih berguna, tentu saya siap membantu. Tapi yang lebih penting, semangat reformasi itu jangan lagi sekadar pidato atau proyek."

Kata-kata Yusril itu seperti cambuk halus di tengah forum digital hening, yang kebanyakan diikuti alumni HMI. Seolah ia sedang berbicara kepada murid yang lupa daratan: Polisi yang lahir dari rahim reformasi, tapi kini mulai kembali berdandan ala zaman serdadu.

Reformasi kepolisian bukan sekadar memoles struktur, tapi menata hati dan etika. Polisi tidak boleh lagi tampil seperti pasukan penyerbu yang menaklukkan rakyat dengan pentungan dan pistol. Mereka harus kembali pada ruh asalnya: pengayom, pelindung, pelayan.

Baca juga: Dituntut Mundur, Pengamat: Pengkritik Lupa PSSI Maju Dipimpin Erick Thohir

Mungkin di situlah makna sejati dari nasihat Yusril: bahwa hukum tanpa nurani adalah kekuasaan yang membeku; dan kekuasaan tanpa batas adalah bencana yang berulang.

Dan seperti biasa, saya cuma menutup catatan dengan senyum getir: "Negara ini sudah terlalu sering melahirkan reformasi, tapi jarang membesarkan hasilnya." (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 14/10/2025

Image
rusdy nurdiansyah

rusdynurdiansyah69@gmail.com

× Image