Catatan Cak AT: Reformasi Demokrasi

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau demokrasi itu pasar malam, maka rakyat kita adalah penonton yang disuruh bayar tiket, tapi lampu-lampu warna-warni, komidi putar, sampai teriakan MC —semuanya dikendalikan elite politik.
Fakyat menonton, elite yang asyik naik bianglala. Begitu kira-kira gambaran reformasi demokrasi kita sejak 1998.
Kini, menjelang Pemilu empat tahun lagi, kita dipertontonkan lagi: revisi Undang-Undang Pemilu, UU Partai Politik, dan UU MD3.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan —nama kementerian yang panjangnya bisa dipakai buat skripsi—Yusril Ihza Mahendra, baru saja menerima "Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu."
Katanya, ini jawaban atas "18+7 Tuntutan Rakyat", yang sempat menggema lewat demonstrasi akhir Agustus lalu, bahkan merenggut nyawa sejumlah aktivis. 18+7 itu bukan rumus matematika, tapi simbol momentum: "ada 18 agenda reformasi utama, ditambah 7 agenda ekstra yang tidak boleh dilupakan.
Pertemuan itu memperlihatkan satu hal penting: Yusril memang betul-betul mendengarkan. Ia berkata: "Mereka memberi masukan terkait dengan revisi tiga undang-undang."
Ia sebut, Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang tentang MD3, DPR, DPD, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Lebih jauh, ia menambahkan beberapa tuntutan mereka. Salah satunya, reformasi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat, yang tidak terlepas dari reformasi terhadap Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan undang-undang tentang perwakilan kita.
Baca juga: Badan Komunikasi Pemerintah Jangan Ulangi Kesalahan Kementerian Komunikasi dan Digital
Tegas, diplomatis, akademis. Tapi publik tahu: Yusril bukan sekadar Menko. Ia juga ketua umum partai. Di sinilah panggung makin menarik. Dalam sepak bola, posisi ganda ini mirip wasit yang juga pemilik klub. Tentu semua berharap permainan tetap cantik, adil, dan terbuka. Jangan sampai ada drama "gol bunuh diri" yang disengaja.
Kedatangan Koalisi menemui Yusril menegaskan bahwa rakyat berhak partisipasi aktif, apalagi ini terkait mati-hidup demokrasi. Dan mereka juga berhak bertanya: benarkah pemerintah dan DPR serius soal reformasi demokrasi? Atau masih ogah-ogahan karena "dapur belum cukup ngebul" atau "transaksi politik" belum jelas hitungannya?
Koalisi menyampaikan 15 poin usulan, mulai dari revisi UU Pemilu, demokratisasi internal partai, sampai transparansi keuangan. Kalau dirangkum, 15 poin usulan mereka sebenarnya bisa disebut "paket reformasi mini": mulai dari revisi UU Pemilu yang disusun dengan naskah akademik inklusif, hingga melaksanakan semua putusan Mahkamah Konstitusi tanpa pilih-pilih.
Mereka juga mengusulkan penerapan sistem Mixed Member Proportional (MMP) yang katanya bikin wakil rakyat lebih wakil daripada sekarang. Ada juga usulan alokasi kursi DPR khusus untuk warga luar negeri, kewajiban keterwakilan perempuan 30% di daftar calon, pendidikan politik kader sebelum bisa nyaleg, hingga audit tahunan keuangan partai.
Baca juga: Catatan Cak AT: Geng Salib AS di Gaza (2)
Terdengar progresif? Sangat. Terlaksana? Belum tentu. Sebab seperti kata pepatah Jawa modern: aturan boleh ideal, asal jangan ganggu kenyamanan elit. Akhirnya 15 poin itu bisa saja jadi semacam "menu diet sehat" yang selalu dipajang di brosur, tapi di kantin parlemen yang dipilih tetap nasi goreng plus sate kambing.
Kedengarannya usulan mereka manis, juga cukup lengkap. Tapi bukankah setiap lima tahun sekali, kita selalu mendengar janji "demokratisasi partai" layaknya iklan sabun cuci piring yang menjanjikan kilau permanen? Faktanya, partai masih lebih mirip warung keluarga: yang jadi calon itu lagi, itu lagi.
Penelitian Liddle dan Mujani (2021) mencatat demokrasi Indonesia mengalami stagnasi, terutama karena oligarki partai semakin menguat. Sementara riset Burhanuddin Muhtadi (2019) menunjukkan politik uang makin dominan: hampir 40% pemilih mengaku pernah menerima "serangan fajar." Jadi, apa gunanya aturan baru kalau mentalitas lama tetap dipelihara?
Salah satu usulan mereka, sistem pemilu MMP. Ini dikenal sebagai sistem campuran ala Jerman dan Selandia Baru. Ide ini bagus: bisa meningkatkan keterwakilan dan efektivitas. Tapi mari kita jujur: di Indonesia, sering kali yang mixed bukan sistem, tapi perasaan rakyat —antara bangga punya hak pilih dan kecewa setelah tahu siapa yang akhirnya duduk di kursi DPR.
Baca juga: Jadi Menpora, Erick Sebut Masa Depannya di PSSI Bergantung FIFA
Studi akademis (Reilly, 2006) menegaskan bahwa MMP bisa memperkuat keterwakilan minoritas. Tapi bayangkan kalau diterapkan di Indonesia tanpa kesiapan: partai mungkin akan mengutak-atik dapil dan daftar calon untuk memastikan "kader senior" tetap aman. Kita punya rekam jejak, bukan? UU Pemilu sering kali berubah sesuai kepentingan penguasa saat itu.
Koalisi juga meminta partai politik membuka pintu demokratisasi internal: ada primary election, syarat tiga tahun keanggotaan, transparansi keuangan, hingga audit tahunan. Indah sekali di kertas. Tapi nyatanya, partai kita lebih jago dalam dua hal: 1) menyembunyikan donatur sebenarnya, 2) menyelesaikan konflik lewat "rapat tertutup" di hotel berbintang.
Riset Aspinall dan Berenschot (2019) menunjukkan bahwa partai di Indonesia bekerja dengan logika patronase, bukan meritokrasi. Jadi jangan heran kalau primary election nanti malah jadi family election. Primary election alias pemilu pendahuluan adalah mekanisme internal di mana partai politik memilih calon yang akan mereka ajukan dalam pemilu umum.
Gagasan ini muncul agar partai tidak lagi menutup diri dalam mencalonkan wakil rakyat. Dengan primary election, proses pencalonan lebih transparan, melibatkan anggota atau bahkan publik luas. Ini bisa menjadi "vaksin" terhadap praktik politik transaksional, karena kandidat tidak hanya ditentukan oleh elite kecil partai.
Baca juga: Program Magang Fresh Graduate Harus Mereformasi Pasar Tenaga Kerja dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Hal-hal inilah yang mesti didiskusikan oleh rakyat jelang pemilu yang masih empat tahun lagi. Tapi empat tahun itu bisa terasa cepat, apalagi kalau DPR sibuk reses dan rapat-rapat di luar negeri. kita tak ingin revisi UU dilakukan dengan tergopoh-gopoh menjelang 2029, hanya demi memastikan "aturan main" cocok dengan kepentingan partai-partai besar.
Sejarah membuktikan: UU Pemilu di Indonesia sering jadi komoditas tawar-menawar elite. Hampir selalu terjadi, pembahasan undang-undang pemilu dilakukan di saat-saat waktu mepet.
Akhirnya, rakyat yang hanya dapat sisa: nyoblos dengan wajah penuh harapan, lalu menonton wakilnya berdebat soal hal-hal yang jauh dari kebutuhan sehari-hari.
Satire ini bukan untuk menertawakan demokrasi. Demokrasi itu serius, tapi kalau dijalankan setengah hati, ia jadi dagelan. Pertemuan Yusril dan Koalisi Masyarakat Sipil patut diapresiasi. Setidaknya masih ada ruang dialog. Tapi jangan lupa, demokrasi bukan hanya soal menerima masukan, melainkan menjadikannya dasar kebijakan.
Dan di sinilah publik menaruh harap: apakah pemerintah akan membuktikan diri sebagai pemain _fair play_, atau sekadar penonton yang pandai mengatur sorak-sorai? Apakah DPR akan bergerak, atau menunggu sampai "harga tiket" benar-benar cocok?
Baca juga: Prabowo Lantik Mantan Pangkostrad Jadi Menko Polkam
Kalau tidak, kita akan terus menonton drama revisi UU: judulnya berganti, pemainnya itu-itu saja, dan penontonnya (rakyat) makin bosan. Ironisnya, tiket masuknya selalu naik: entah lewat pajak, inflasi, atau harga sembako.
Demokrasi seharusnya bukan _stand up comedy_ yang hanya mengundang tawa getir. Ia harus jadi panggung di mana rakyat bukan sekadar penonton, tapi aktor utama. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 19/9/2025