Home > Galeri

Humanisme Kultural Gus Dur dalam Majelis Nyala Purnama di UI

Majelis Nyala Purnama adalah sebuah ruang teduh untuk merayakan keberagaman, serta pelestarian nilai-nilai kebudayaan Indonesia.
Makara Art Center UI gelar Majelis Nyala Purnama untuk yang ke lima kalinya di Selasar gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Rabu (10/09/2025). (Foto: Dok Pusinfo MAC UI dan Komoenitas Makara)
Makara Art Center UI gelar Majelis Nyala Purnama untuk yang ke lima kalinya di Selasar gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Rabu (10/09/2025). (Foto: Dok Pusinfo MAC UI dan Komoenitas Makara)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Makara Art Center Universitas Indonesia (UI) bekerjasama dengan Komoenitas Makara dan Urban Spiritual Indonesia menyelenggarakan "Majelis Nyala Purnama" untuk yang ke lima kalinya di Selasar gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Rabu (10/09/2025).

Majelis Nyala Purnama adalah sebuah ruang teduh untuk merayakan keberagaman, serta pelestarian nilai-nilai kebudayaan Indonesia.

Pada penyelenggaraan kali ini “Majelis Nyala Purnama” mengangkat tema: Humanisme Kultural Gus Dur, berkaitan dengan hari lahir tokoh pluralisme Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang jatuh pada 7 September 2025.

Baca juga: Catatan Cak AT: Lihat Saja Nanti

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan seorang tokoh bangsa yang jejaknya abadi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai bapak pluralisme, pejuang kemanusiaan, dan guru bangsa yang menembus sekat-sekat agama, budaya, maupun politik.

Warisan pemikiran Gus Dur tidak sekadar hadir dalam ide, tetapi hidup dalam humanisme kultural, yaitu sebuah pandangan yang meletakkan manusia sebagai pusat peradaban dengan segala martabat dan kemuliaannya.

Adapun para pengisi acara antara lain Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, Inayah Wahid, Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum., Dr. Turita Indah Setyani, Fitra Manan, Dr. Alfian Siagian , Mahwi Air Tawar, Swara SeadaNya, dan D'Yello.

Humanisme Gus Dur bukan berakar dari filsafat liberalisme yang menafikan dimensi religius. Sebaliknya humanisme Gus Dur justru bersumber dari nilai, ajaran dan spirit religiusitas Islam dan berakar pada tradisi Nusantara.

Baca juga: Cegah Gangguan Keamanan dan Ketertiban, Walikota Depok Edarkan Surat Ini

Gus Dur menjadi nilai-nilai ajaran Islam sebagai sumber inspirasi dan fondasi nilai dalam mengembangkan humanisme kemudian menggali akar tradisi Nusantara sebagai jangkar dalam membangun konsep nasionalisme.

"Inilah yang menyebabkan humanisme Gus Dur bisa diterima dan diamalkan dengan mudah," ujar Direktur Kebudayaan Universitas Indonesia Dr. Ngatawi Al Zastrouw yang juga merupakan orang kepercayaan Gus Dur sejak medio 1990-an.

Humanisme kultural Gus Dur berakar pada pandangan bahwa manusia harus diperlakukan secara adil dan bermartabat tanpa membedakan agama, etnis, atau budaya.

Ia menekankan pentingnya kebudayaan sebagai ruang perjumpaan yang mampu menjembatani perbedaan dan membangun solidaritas sosial.

Baca juga: Haji Baya Ikut Nonton Wayang Golek, Ribuan Warga Majalengka Padati Lapangan

"Melalui gagasan ini, Gus Dur berusaha meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama, di mana nilai-nilai kemanusiaan menjadi fondasi utama kehidupan berbangsa dan bernegara," tutur Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Ui, Bondan Kanumoyoso yang saat remaja sering diajak oleh Gus Dur keliling dari pesantren ke pesantren serta ziarah ke makam wali-wali Nusantara.

Di antara semua tokoh nasional, Gus Dur bukan hanya seorang presiden, ulama, atau intelektual, melainkan juga seorang humanis sejati.

Humanisme ala Gus Dur bukanlah sebuah teori kering, melainkan praktik hidup yang terwujud dalam kelakar dan tindakannya sehari-hari.

Ia mampu menertawakan segala hal, bahkan dirinya sendiri, sebagai cara untuk meruntuhkan sekat-sekat formalitas, dogma, dan perbedaan yang memisahkan manusia.

Baca juga: Wayang Golek Dadan Sunarya, Dari Hiburan Jadi Tradisi Syukur di Desa Sukamenak Majalengka

Humanisme Gus Dur mengajarkan bahwa kasih sayang dan penerimaan terhadap sesama, terlepas dari latar belakangnya, adalah inti dari agama dan kemanusiaan.

"Kelakar dan cerita lucunya yang sering kali nakal dan cerdas, berfungsi sebagai cara untuk melampaui konflik dan membangun jembatan persahabatan.”, tambah Ketua Komoenitas Makara Fitra Manan.

Sementara itu, Putri Gus Dur, Inayah Wahid yang menyampaikan orasi budaya banyak bercerita tentang sisi personal seorang Gus Dur sebagai ayah kepada anak-anaknya yang sangat santai dan penuh komedi.

Kebiasaan Inayah yang saat mahasiswa sering pulang hampir tengah malam karena ada kegiatan kampus itu Gus Dur sudah hapal.

Baca juga: Lapas Nusakambangan Kelola Abu Sisa Pembakaran Batu Bara PLTU, Hasilkan Produk Bernilai Ekonomis

Namun pada suatu malam, waktu masih menunjukkan pukul 9 malam Inayah salam dengan cium tangan kepada ayahnya, Gus Dur langsung tanya, “Lho kok tumben baru jam 9 sudah pulang?”, Inayah langsung membalas “Wong ini malah baru mau berangkat kok”, lalu keduanya tertawa bersama.

Acara ditutup dengan acara bermeditasi bersama di bawah sinar bulan purnama yang dipimpin oleh Dr. Turita Indah Setyani.

"Meditasi atau tafakur alam dalam keheningan bulan pernama bukan sekadar perenungan spiritual, tetapi sebagai wujud kesadaran akan keterhubungan antara diri, sesama, dan semesta.

Dalam terang bulan yang memayungi segala perbedaan, kita belajar bahwa kemanusiaan melampaui sekat identitas, agama, dan budaya--sejalan dengan nilai humanisme kultural Gus Dur, sebagaimana yang selalu diajarkan bahwa melihat manusia haruslah dengan mata hati, bukan kacamata ideologi.

Baca juga: Peringati Maulid Nabi, Wali Kota Depok Supian Suri Ajak Perkuat Toleransi dan Teladani Rasulullah

Tafakur atau meditasi yang menjadi penutup acara ini bukan hanya bentuk keheningan spiritual, melainkan juga ruang batin untuk meresapi dan merawat pesan Gus Dur, bahwa memahami manusia memerlukan kebijaksanaan rasa, bukan sekadar logika kuasa.

Sekaligus menyelami kembali inti ajaran beliau, bahwa mengenali dan mencintai kemanusiaan merupakan laku spiritual yang tertinggi." ujar Pendiri Urban Spiritual Indonesia Dr. Turita Indah Setyani yang memimpin meditasi di akhir acara. (***)


× Image