Catatan Cak AT: Panggung Dunia eSport di Riyadh

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Wahai pembaca yang budiman dan agak heran. Siapa sangka negara yang dulu bikin kita membayangkan padang pasir, unta, dan fatwa serius, sekarang juga bisa bikin lampu neon, panggung mega, dan gamer berdiri tegap menenteng mouse seperti punggawa zaman now?
Riyadh, Ibukota Saudi Arabia, baru saja menjadi tuan rumah pesta besar game kelas dunia. Ini menegaskan satu hal: dunia berubah cepat, dan Saudi sedang sibuk menulis ulang naskah masa depan ekonominya lewat joystick dan livestream.
Di panggung utama itu berlangsung Esports World Cup (EWC). Ini festival multi-minggu berisi cabang-cabang turnamen populer, event publik.
Bahkan ada konser artis internasional — yang diposisikan bukan sekadar “turnamen” tapi proyek geopolitik-kultural dalam paket hiburan besar-besaran.
Baca juga: Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Depok Dengarkan Pidato Kenegaraan Presiden RI
Ada uang hadiah ratusan juta dolar, sponsor besar, dan nama-nama penyelenggara serta operator turnamen yang biasa nongol di kalender esports global. Singkatnya: ini bukan sekadar LAN party; inilah konser, karnaval, dan ekonomi kreatif yang dimasukkan ke mesin negara berbentuk kerajaan.
Yang membuat para tetangga (dan para tetua) mendelik: untuk pertama kalinya catur — ya, permainan meja klasik yang sejak lama dianggap “beradab” dan agak terhormat — masuk ke dalam gelaran EWS. Ia didapuk sebagai cabang kompetitif modern, lengkap dengan kontrol waktu cepat, siaran TV yang dinamis, dan hadiah besar.
Partner besar seperti Chess.com ikut serta, dan profil pemain yang muncul bukan hanya GM tradisional, tetapi juga nama-nama yang punya daya tarik media — termasuk Magnus Carlsen yang tampil sebagai magnet penonton. Catur kini bertemu format esports: jam cepat, production value tinggi, dan audiens yang haus aksi kilat.
Baca juga: Nilai Indeks Masyarakat Digital Kota Depok Masuk Kategori Tinggi
Sebuah catatan etimologis yang manis: orang Arab lama menyebut catur “syatranj” (atau di lidah populer kadang terdengar “sathranj”) — warisan kata dari Persia yang ia sendiri mendapatkannya dari bahasa India kuno, chaturanga. Indonesia pun menyebutnya catur.
Jadi ketika seorang komentator menyebut “sathranj” di Riyadh modern, sebenarnya itu seperti perayaan kultural: permainan tua yang menempuh ribuan tahun, kini berdentang di layar LED seukuran billboard. Sejarahnya panjang; transformasinya kini mengikuti arus ekonomi digital.
Dari sisi data, komunitas gamer dunia kini diperkirakan mencapai 3,2–3,4 miliar orang — hampir setengah populasi bumi. Pasarnya? Jangan kaget. Berbagai proyeksi menyebut angka yang mencengangkan.
Baca juga: Tutut Soeharto Layak Pimpin Partai Golkar Tapi Rentan
Untuk tahun 2025, ada yang memprediksi pasarnya mendekati USD 200 miliar, ada yang lebih optimis di kisaran USD 236,9 miliar hingga USD 269,06 miliar. Bahkan ada yang menempatkannya di USD 303,47 miliar atau setinggi USD 362,65 miliar.
Perbedaan ini bukan karena analisnya kebanyakan kopi, tapi karena metode, cakupan, dan segmen yang dihitung berbeda. Yang nyaris pasti: mobile gaming menjadi primadona, menyumbang lebih dari separuh pendapatan global, didorong oleh penetrasi smartphone dan internet yang makin luas.
Pergeseran dari penjualan fisik ke digital makin kencang, sementara teknologi seperti Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) berhasil menambah daya pikat, menarik pemain baru lintas generasi. Anak-anak era kini begitu dimanjakan oleh game yang tiada habisnya.
Singkatnya, ini pasar yang bukan sekadar tumbuh, tapi meledak—dan siapa yang telat masuk hanya akan jadi penonton di bangku belakang.
Baca juga: Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini tidak bisa dianggap remeh. Pasar game kita bernilai USD 4–5 miliar, dengan penetrasi mobile gaming yang luar biasa tinggi. Jumlah pemain mobile menempatkan Indonesia dalam barisan teratas di Asia Tenggara.
Ekosistem esports lokal pun tumbuh — tim, penyelenggara, caster, dan influencer gaming bermunculan. Tapi kalau dibandingkan dengan skala modal dan infrastruktur event seperti Riyadh, jaraknya masih seperti beda lapangan futsal dengan stadion internasional.
Nah, apa yang bisa kita pelajari dari “showcase” Riyadh ini? Pertama, bangun infrastruktur acara dan siaran yang kuat. Livestreaming itu ibarat kamera CCTV di warung kopi: semua yang terjadi terlihat jelas.
Kalau koneksi macet atau suara komentator hilang di tengah pertandingan, penonton dunia langsung jadi juri yang kejam. Produksi yang rapi bukan sekadar gengsi, tapi investasi reputasi.
Baca juga: Catatan Cak AT: Monumen Pustaka Digital di al-Ittifaqiah
Kedua, kembangkan jalur pembibitan talenta. Jangan cuma jago menyewa bintang asing untuk numpang lewat. Bangun akademi, berikan beasiswa, dan gelar liga pelajar.
Riyadh tidak sekadar membeli pemain, mereka memamerkan sistem yang memproduksi pemain. Kalau kita hanya mengandalkan “import dadakan”, prestasi kita akan seperti kembang api tahun baru — indah sebentar, lalu hilang.
Ketiga, jaga ekosistem kreatifnya. Esports bukan cuma soal pemain dan piala. Ada developer lokal, pembuat konten, peneliti psikologi game, sampai biro iklan yang mencari celah promosi lewat turnamen. Semua ini butuh ekosistem yang sehat dan saling dukung. Tanpa itu, industri ini akan meledak sesaat lalu meredup tanpa bekas.
Keempat, pastikan regulasi yang sehat. Dunia esports penuh potensi masalah: perlindungan anak, jam main berlebihan, sengketa hak cipta, sampai pajak yang bikin sponsor ogah datang.
Riyadh mungkin menaruh uang besar, tapi kita tidak bisa meniru hanya dari sisi dompet. Kita perlu strategi jangka panjang supaya ekosistem ini bukan hanya tren semusim.
Intinya, kesuksesan esports bukanlah hasil dari satu event megah atau uang hadiah besar, tapi buah dari perencanaan matang, investasi pada manusia, dan keberanian membangun fondasi yang kokoh.
Infrastruktur siaran membuat dunia percaya, pembibitan talenta memberi masa depan, ekosistem kreatif menumbuhkan inovasi, dan regulasi menjaga keberlanjutan. Tanpa itu semua, kemegahan hanya akan jadi album foto nostalgia di media sosial.
Baca juga: UI Tingkatkan Kapasitas UKM Buah Pala di Kabupaten FakFak Papua Barat
Kalau Indonesia ingin masuk gelanggang global, kita harus berhenti bermimpi jadi juara dengan modal “asal main” dan “asal ramai”.
Dunia esports adalah industri miliaran dolar yang bergerak cepat, tempat reputasi dibangun dari konsistensi dan profesionalisme, bukan sekadar euforia sesaat.
Riyadh sudah menunjukkan jalannya; tinggal kita berani atau tidak melangkah di lintasan yang sama —tentu dengan gaya kita sendiri, tanpa kehilangan rasa dan jati diri.
Karena di dunia kompetisi, seperti di papan syathranj, yang menang bukan yang paling ribut, tapi yang paling siap menapak jejak selangkah lebih maju. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 16/8/2025