Keanggotaan Indonesia di OECD Bisa Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK - Inisiatif keanggotaan Indonesia dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjadi semakin penting, karena membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui keanggotaan ini, Indonesia diharapkan dapat mengurangi hambatan non-tarif atau non tariff measures (NTM), memperluas akses pasar dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan keberlanjutan, yang merupakan kunci utama untuk memperluas akses pasar ke Eropa.
Saat ini, Indonesia adalah kandidat resmi dan jika berhasil, akan menjadi negara ASEAN pertama yang bergabung dengan OECD.
“Keanggotaan Indonesia dalam keanggotaan OECD sangat penting. Namun dibutuhkan adanya penyesuaian regulasi nasional, termasuk di bidang perdagangan dan keberlanjutan. Dalam aspek perdagangan, regulasi seperti hambatan non-tarif perlu ditinjau kembali, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Eropa,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran saat dihubungi, Rabu (30/7/2025).
Hasran melanjutkan, bergabungnya Indonesia dengan OECD membuka jalur strategis untuk mempercepat transformasi ekonomi. Berbagai penyesuaian, sebagai konsekuensi dari bergabungnya Indonesia ke OECD, merupakan bentuk adaptasi Indonesia dengan standar OECD. Hal ini juga memungkinkan Indonesia untuk mencapai kemajuan dengan praktik terbaik global, menarik investasi dan meningkatkan konsistensi regulasi di sektor utama.
Pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar 0,78 poin persentase lebih tinggi dalam jangka pendek (2028-2030) dan 0,92 poin persentase lebih tinggi dalam jangka menengah (2031-2035) dibandingkan skenario tanpa aksesinya ke OECD.
Negara-negara seperti Meksiko, Kosta Rika dan Kolombia telah menunjukkan keanggotaan mereka meningkatkan kualitas kebijakan dan kinerja ekonomi secara signifikan. Meksiko, misalnya, sebelum bergabung dengan OECD menerima Foreign Direct Investment (FDI) sebesar USD 4,3 miliar pada tahun 1992. Namun setelah resmi menjadi anggota OECD pada tahun 1994, FDI yang masuk ke negaranya meningkat menjadi 11,6 miliar USD.
Hal serupa juga terjadi pada Kosta Rika yang bergabung dengan OECD pada tahun 2021. Negara tersebut mengalami peningkatan FDI dari 3,5 miliar USD pada tahun 2021 menjadi 4,6 miliar USD pada tahun 2023. Indonesia dapat mereplikasi keberhasilan ini dengan mereformasi hal-hal yang diperlukan dan memanfaatkan keanggotaan OECD sebagai katalisator pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.
Saat ini, ekspor Indonesia ke pasar OECD menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu, struktur ekspor masih didominasi oleh sektor-sektor ekstraktif, seperti energi dan mineral. Sementara sektor non-ekstraktif, misalnya manufaktur, dengan produk seperti alas kaki dan tekstil justru stagnan dan belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
Beberapa faktor penyebabnya adalah tingginya tingkat persaingan di pasar Eropa, di mana efisiensi produksi menjadi kunci daya saing. Di samping itu, pasar OECD yang sebagian besar terdiri dari negara-negara Uni Eropa sangat menekankan pada aspek keberlanjutan dan lingkungan, yang menjadi tantangan tersendiri bagi produk-produk Indonesia untuk bisa menembus pasar tersebut.
Hasran melanjutkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di antara 5% dan 6% selama dua dekade terakhir, berdasarkan data Bank Dunia pada 2023 lalu. Untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan, dibutuhkan peningkatan produktivitas. Namun, antara tahun 2005 dan 2019, pertumbuhan produktivitas faktor total (TPF) Indonesia negatif, dengan rata-rata -0,7%.
Menurunnya produktivitas ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kualitas sumber daya manusia, regulasi yang restriktif, lemahnya kerangka kelembagaan dan masih terbatasnya kapasitas inovasi. Tingkat produktivitas Indonesia tidak hanya tertinggal dari negara-negara besar, seperti China dan India, tetapi juga negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Basis ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya alam seperti batu bara dan minyak sawit. Meskipun komoditas ini terus memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, ketahanan jangka panjang akan membutuhkan penekanan yang lebih besar pada pemrosesan hilir dan nilai tambah dari sumber daya alam.
Masih terdapat potensi yang belum dimanfaatkan di sektor-sektor lain, seperti elektronik, komponen otomotif dan farmasi. Untuk memaksimalkan potensinya, para pelaku usaha perlu menyederhanakan regulasi, memperkuat sumber daya manusia, berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan, serta memperluas kerja sama internasional (OECD, 2024).
Untuk memastikan melancarkan aksesi Indonesia sebagai anggota OECD, Penelitian CIPS mengenai OECD merekomendasikan beberapa hal. Yang pertama adalah reformasi regulasi.
Reformasi regulasi dibutuhkan untuk menyelaraskan regulasi Indonesia dengan standar OECD. Meskipun sebagian besar regulasi Indonesia di bidang-bidang ini sebagian sesuai dengan instrumen OECD, beberapa perubahan penting pada legislasi akan membantu proses aksesi.
Yang kedua, Indonesia direkomendasikan untuk merevisi Undang-Undang Perlindungan Konsumennya atau UU PK (UU No. 8/1999). Meskipun telah mengakomodasi beberapa ketentuan dalam instrumen hukum OECD, UU PK tersebut tidak memasukkan perlindungan konsumen anak atau perlindungan konsumen dalam perdagangan elektronik.
Selanjutnya, Indonesia direkomendasikan untuk mengurangi hambatan non-tarif untuk membantu menurunkan biaya kepatuhan terkait perdagangan, khususnya di sektor-sektor yang terkait erat dengan ekspor dan integrasi rantai pasok.
Indonesia direkomendasikan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendorong efisiensi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini sudah sejak lama disebut dapat mengurangi mendukung daya saing pada industri berorientasi ekspor.
“Bergantung hanya pada satu pasar saja pada situasi ekonomi yang rentan seperti saat ini tidaklah bijaksana. Namun pemerintah juga harus siap pada berbagai bentuk penyesuaian yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan industri dalam negeri,” tegas Hasran. ***