Home > Kolom

Muslim yang Tercerahkan

Di sanalah beliau diangkat menjadi Rasul. Menjadi tonggak awal pencerahan, mengajak umat manusia pada kebenaran dan ajaran tauhid.
Foto ilustrasi Muslim yang Tercerahkan. (Foto: Dok REPUBLIKA) 
Foto ilustrasi Muslim yang Tercerahkan. (Foto: Dok REPUBLIKA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pada umur 40 tahun, Rasulullah gelisah. Bukan karena memikirkan nasib dirinya sendiri. Tapi memikirkan kaumnya.

Beliau sering kali merenungi kondisi kaumnya dan menyadari banyak keadaan dari kaumnya yang tidak sejalan dengan kebenaran.

Lantaran hal tersebut, beliau pun mulai sering uzlah (mengasingkan diri) dari kaumnya, beliau biasa ber-tahannuts (menjauhkan diri untuk berzikir) di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur.

Baca juga: Catatan Cak AT: Mas Menteri Core Team

Di sanalah beliau diangkat menjadi Rasul. Menjadi tonggak awal pencerahan, mengajak umat manusia pada kebenaran dan ajaran tauhid.

Pertanyaan eksistensial. Di umur berapa kita sudah tercerahkan? Jawaban ada pada diri masing-masing. Satu hal yang pasti, hanya dia yang telah mengalami pencerahan, menjadikan hidup benar-benar istimewa dan punya kontribusi besar dalam kehidupan. Tidak berlalu begitu saja, terbang bersama angin. Ia kemudian meninggalkan dunia, dengan jejak (legacy) yang bermakna.

Memang dunia, seperti tersebut dalam sebuah ajaran, menampilkan dua wajah yang berbeda. Seperti dalam sebuah ayat “Yukhrijuhum min al-dhulumat ila al-nur” (Mengeluarkan umat manusia dari kegelapan pada cahaya).

Baca juga: Satpol PP Depok Bongkar Bangli di Jalur Pipa Gas Bertekanan Tinggi

Sebaliknya, “Yukhrijunahum min al-nur ila adl-dhulumat” (Mengeluarkan umat manusia dari petunjuk Allah kepada kegelapan). Bagi manusia yang telah mengalami pencerahan (batin), biasanya, hidup menjadi lebih maknawi, sangat berbeda dari sebelumnya. Ketika ia menyadari keberadaan dirinya. Apakah ia tercerahkan, ataukah malah terlempar dalam kegelapan

Hanya bagi seorang muslim, apakah pencerahan bermakna sama dengan sejarah pemikiran humanisme sekuler Barat? Kita lihat. Di Barat, kita mengenal pencerahan dengan istilah “Enlightenment” atau “Aufklarung”.

Konon, dinilai sebagai sebuah fase kemajuan nalar modern. Seorang filsuf, Immanuel Kant menyebutnya sebagai “Sapere Aude”, beranilah berpikir sendiri, yaitu ketika manusia mengalami kebebasan berpikir, ke luar dari belenggu metafisik menuju pemikiran berbasis ilmu pengetahuan.

Baca juga: Momentum Rebranding Kang Dedi Mulyadi (KDM)

Sayangnya, dalam humanisme sekuler pencerahan demikian dimaknai sebagai pembebasan dari segala hal, termasuk dari agama dan semua yang dianggap membelenggu manusia. Pencerahan Barat mempertanyakan otoritas gereja, termasuk kitab suci yang dinilai mengkerangkeng nalar dan ilmu pengetahuan.

Singkatnya, dalam perspektif Barat, agama adalah sumber kemunduran. Sementara, dalam perspektif Islam, justru agama dinilai sebagai sumber kemajuan. Ia mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk kegelapan.

Ia menjawab problem kemanusiaan, ketertinggalan, kebodohan baik secara struktural maupun kultural.

Ia juga menjawab kekeringan ruhani, krisis moral, kerusakan ekologis, juga yang tak kalah penting mengembangkan sebuah relasi sosial yang berkeadilan.

Baca juga: Catatan Cak AT: Pesantren Digital

Tentu dengan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, toleransi dan kemajemukan. Menjadikannya, terus relevan sepanjang zaman. Spirit demikianlah yang bakal melahirkan peradaban mulia.

Darinya, akan lahir khalifatullah. Sosok yang bakal memakmurkan bumi, demi kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Ia, akan merawat, memelihara, melestarikan dan mengurus alam semesta dengan amanah dan penuh pertanggungjawaban. Ia, adalah pribadi yang benar-benar tercerahkan dengan mindset profetik (kenabian).

Bahwa akal pikiran berkembang dengan bimbingan wahyu. Yang menjadikannya seimbang, tanpa terjebak dengan pengagungan akal pikiran sampai melupakan siapa yang menciptakan akal itu sendiri. Dengan begitu, yang hadir bukan arogansi argumentasi, tapi kebajikan dalam perspektif maupun narasi.

Baca juga: Fahira Idris Gelar Bakti Sosial Donor Darah Untuk Negeri

Pencerahan yang lahir adalah pencerahan berbasis tauhid. Tak hanya berdimensi habluminallah (BerkeTuhanan) tapi juga habluminannas, sebuah relasi kemanusiaan.

Dengan begitu, muslim yang tercerahkan tak hanya sibuk dalam urusan peribadatan kepada Allah, tapi dalam tauhid sosial, ia mengandung ajaran din al’adalah (the religion of justice).

Sikap peduli pada sesama untuk sebuah tatanan yang adil secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Politik, ekonomi, sosial bahkan kebudayaan. Itulah bagaimana gambaran muslim yang tercerahkan bisa lahir dan berkontribusi pada kemanusiaan dalam bingkai keumatan.

Saya kira, memang peradaban mulia bakal lahir dimulai dari semakin banyaknya muslim yang tercerahkan. Tanpa itu, mustahil peradaban mulia dapat diwujudkan. (***)

Penulis: Yons Achmad/Kolumnis, tinggal di Depok

× Image