Home > Kolom

Catatan Cak AT: Mukjizat di Seat 11A

Ya, satu-satunya yang selamat adalah Viswash Kumar Ramesh, warga negara Inggris keturunan India.
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mukjizat di Seat 11A. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mukjizat di Seat 11A. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pada pagi yang semula biasa saja, 12 Juni 2025, pesawat Air India AI171 lepas landas dari Bandara Internasional Sardar Vallabhbhai Patel di Ahmedabad, India, menuju London Gatwick, Inggris. Namun hanya dalam 60 detik setelah take-off, pesawat itu terjun bebas dan meledak.

Awalnya pesawat sempat menanjak hingga ketinggian sekitar 400 meter sebelum tiba-tiba menukik tajam dan menghantam asrama BJ Medical College di kawasan Meghaninagar. Seluruh 241 jiwa di dalamnya —229 penumpang dan 12 kru— tewas seketika. Kecuali satu orang.

Ya, satu-satunya yang selamat adalah Viswash Kumar Ramesh, warga negara Inggris keturunan India.

Seorang pebisnis biasa, suami, dan ayah dari satu anak. Entah karena keberuntungan, karma, atau ironi alam semesta, pagi itu ia duduk di kursi nomor 11A.

Baca juga: Pemkot Depok Buka Lowongan Sekda, Ini Syaratnya dan Jadwalnya

Viswash tengah dalam perjalanan pulang ke London setelah mengunjungi India bersama kakaknya, Ajay Kumar Ramesh, yang pagi itu duduk di kursi 11J —di seberang lorong pesawat. Mereka tadinya berharap bisa duduk berdampingan, tapi takdir menentukan lain.

Ketika reruntuhan pesawat masih berasap dan Viswash diseret petugas medis ke ambulans, tubuhnya penuh luka bakar dan darah. Dalam keadaan setengah sadar, ia berteriak: "Plane fatyo che! Plane fatyo che!" (Pesawatnya jatuh!) Matanya terus mencari Ajay. Tapi Ajay tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup.

Awalnya, beredar kabar bahwa Viswash selamat karena melompat dari pintu darurat. Namun hasil investigasi menunjukkan bahwa ia masih duduk dengan sabuk pengaman terpasang.

Tubuhnya terlempar utuh ke luar badan pesawat, seperti boneka dari dalam kotak logam yang hancur. Petugas medis kemudian mengevakuasinya ke ambulans.

Baca juga: Gelombang Pertama Jemaah Haji Depok Dijadwalkan Kembali 17 Juni 2025

Dan inilah kisah Viswash, menurut penuturannya sendiri:

Setiap kali naik pesawat, saya selalu menghindari duduk di dekat pintu darurat. Pintu yang selalu disebut-sebut pramugari dengan banyak tanggung jawab, sesaat sebelum landas. Tapi mungkin sudah suratan, pagi itu saya mendapat kursi 11A —tepat di sebelah pintu darurat kiri.

Kursi itu berada di baris pertama kelas ekonomi, persis di belakang kabin bisnis. Duduk di sana berarti saya harus siap mengambil tindakan penyelamatan jika terjadi sesuatu.

Saya tak pernah menyangka, tanggung jawab itu benar-benar datang —bukan dalam bentuk membuka pintu, tapi dalam bentuk menyelamatkan hidup saya.

Baca juga: Catatan Cak AT: Saintis Tak Mati-mati

Pada mulanya, saat pesawat mulai bergerak di landasan, saya melihat lampu-lampu hijau dan putih menyala. Mesin mulai menderu saat memasuki titik pacu untuk segera lepas landas. Saya menarik napas dalam-dalam, membayangkan scones dan teh hangat di London.

Namun detik ke-30 setelah take-off, segalanya berubah.

"It all happened so quickly...", begitu saya berkata kepada media.

Terdengar dentuman besar. Jeritan. Api berkobar seperti neraka. Logam melengking, hancur berkeping-keping. Dunia seperti berhenti.

Baca juga: Disaksikan Ketua Dewan Pers, PWI Akhirnya Tandatangani Panitia Bersama Kongres Persatuan, Plt Ilegal!

Tiba-tiba saya sudah berada di luar pesawat, tergeletak di antara kepingan logam. Saya pikir saya mati. Tapi tidak. Saya meraba tubuh saya. Masih ada. Saya coba membuka mata lebar-lebar. Sekitar saya: tubuh-tubuh manusia, terbakar, terlempar, terdiam.

Saya berusaha berdiri —atau mungkin tubuh saya berdiri sendiri tanpa izin. Saya juga mencoba lari, tapi tidak bisa. Saya tak tahu harus ke mana. Tapi saya tahu satu hal: saya masih hidup. Tubuh saya masih utuh.

Saya tak sempat berpikir macam-macam. Saya coba merangkak, tapi sulit. Bau gosong dan daging terbakar menyengat. Tangan saya ikut terbakar —saya baru menyadarinya belakangan. Yang saya tahu, kalau saya tetap diam, saya akan ikut menjadi abu.

Baca juga: Catatan Cak AT: Muqaddimah Lite tentang Sufi Bahlul

Dalam wawancara dengan Doordarshan, saya menjelaskan: bagian pesawat tempat saya duduk bukanlah sisi yang menghantam langsung ke gedung asrama di saat pesawat jatuh. Justru bagian itu jatuh ke lantai dasar bangunan, menciptakan ruang kosong di antara reruntuhan.

Ruang itulah yang menyelamatkan saya. Ketika pintu darurat di samping saya terlepas, saya melihat celah untuk keluar. Secara refleks saya bergerak, merangkak keluar menuju cahaya. Itulah yang menyelamatkan hidup saya.

Berbeda dengan sisi tempat Ajay duduk. Pesawat yang jatuh menghantam langsung dinding beton. Tidak ada ruang tersisa. Tidak ada jalan keluar. Hanya kehancuran.

Saya sadar, selisih beberapa kursi —bahkan hanya selebar lorong pesawat— bisa menjadi batas antara hidup dan mati.

Baca juga: Magnum Estate International, Shaping The Future of Property in Bali and Beyond

Saya tak tahu mengapa hanya saya yang selamat. Tapi saya ingat betul: saat api mulai melahap reruntuhan, tangan kiri saya ikut terbakar. Tapi saya tak merasakannya. Rasa takut jauh lebih besar dari rasa sakit.

Saya terus berusaha merangkak keluar dari puing dan api. Lalu ingin berlari, entah ke mana, seolah hidup saya bergantung pada napas berikutnya —karena memang begitu kenyataannya.

Saya melihat tubuh-tubuh tergeletak. Beberapa masih utuh, sebagian tidak. Semuanya diam. Dunia sunyi. Hanya ada suara api dan napas saya sendiri. Langit gelap.

Saya ingat tadi ada seorang wanita tua duduk tak jauh dari saya. Masih mengenakan sabuk pengaman. Tapi dia tidak bergerak. Melihat itu, saya seketika menjerit: "Plane fatyo che!" Saya tak tahu apakah saya masih waras. Mungkin tidak.

Baca juga: Kegiatan Statistik Sektoral 2025, Diskominfo Depok Perkuat Tata Kelola Data

Tiba-tiba seseorang memeluk saya dari belakang dan menarik saya ke ambulans. Saat itulah saya menangis. Untuk pertama kalinya. Bukan karena sakit —tapi karena Ajay tak ada di sana.

Sekarang saya berbaring di ranjang nomor 11, Bangsal B7, Rumah Sakit Sipil Ahmedabad. Nomer yang sama dengan kursi saya di pesawat. Saya dijaga polisi. Diberi kunjungan oleh Perdana Menteri. Dikerumuni wartawan.

Semua bertanya, “Bagaimana Anda bisa selamat?”

Saya jawab, “Saya tidak tahu.”

Mungkin karena saya duduk di tempat yang “tepat”.

Mungkin karena badan pesawat saya jatuh ke bagian lantai dasar, bukan yang meledak.

Mungkin karena Tuhan sedang bercanda hari itu.

Atau mungkin, hanya mungkin, agar saya bisa menceritakan ini pada Anda.

Bahwa hidup ini kadang di luar kendali kita.

Bahwa kematian pasti datang tak peduli apakah kita siap atau tidak.

Baca juga: Yayasan Astra dan Asuransi Astra Adakan Pendampingan Bagi UMKM Perempuan

Bahwa bahkan dengan teknologi canggih dan prosedur keselamatan yang ketat, kita tetap hanya manusia —bergantung pada doa, takdir, keberuntungan, cinta... dan sabuk pengaman.

Dan jika Anda pernah duduk di kursi pintu darurat —jangan hanya merasa istimewa. Pelajari benar-benar cara membukanya. Karena mungkin, hanya mungkin, hidup Anda bergantung pada jendela kecil yang bisa terbuka di tengah reruntuhan.

Sungguh, saya tak tahu kenapa saya satu-satunya yang hidup.

Tapi saya tahu satu hal: saya harus hidup untuk tidak melupakan.

Tidak melupakan mereka yang tak sempat keluar.

Tidak melupakan suara dentuman itu.

Dan tidak melupakan betapa tipisnya garis antara hidup dan mati —kadang hanya setebal label kursi 11A.

Dan saya berjanji: saya akan hidup untuk dunia yang lebih baik. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 15/6/2025

× Image