Catatan Cak AT: Tafsir Ladang Kritis, Lumbung dan Lambung

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Seandainya para ahli tafsir dari abad pertengahan hidup di zaman ini dan diajak hadir ke Banyuasin dalam acara peluncuran Gerakan Indonesia Menanam (Gerina), barangkali mereka akan mengernyit. Lalu, mereka akan tersenyum, lalu mengangguk-angguk dalam-dalam.
Sebab, ternyata ayat ke-44 dari Surah Yusuf, yang pada masa dulu ditafsirkan sebagai peristiwa di istana raja Mesir, kini tampil sebagai teks suci yang turun ke ladang-ladang kritis. Ayat ini menyapa cangkul petani, dan disambut gegap gempita oleh seorang presiden.
Acara peluncuran Gerina, 24 April 2025, di Banyuasin, Sumatera Selatan, diiringi pembacaan ayat suci al-Qur'an. Sebagai penggagas Gerina, Ustadz Adi Hidayat yang ahli al-Qur'an memilihkan ayat-ayat dari surah Yusuf terkait pertanian, termasuk ayat 44 yang ia sebut di pidatonya.
Baca juga: Catatan Cak AT: UAH Merapat ke Prabowo, Bawa Si Opung dan Si Cepot
Mari kita buka dulu tafsir ayatnya, karena bagaimana pun juga, menafsirkan sebelum menanam adalah tanda kaum beradab. Khusus ayat 44, terjemahannya begini: “Mereka berkata, '(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami bukanlah orang-orang yang mengetahui ta'bir mimpi.'” (Qs. Yusuf 12: 44)
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini merupakan pengakuan para ahli sihir dan penasihat istana Raja Mesir bahwa mereka tidak mampu menafsirkan mimpi sang raja. Dalam ayat sebelumnya diceritakan raja melihat tujuh sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus, dan tujuh bulir hijau serta tujuh bulir kering.
Mufasir lain, al-Baghawi, dalam kitabnya menyatakan bahwa para ahli tersebut bahkan menyepelekan mimpi itu sebagai “adhghātsu ahlām” – mimpi yang sekadar menjadi bunga-bunga tidur, tidak penting-penting amat. Singkat kata: ini adalah kegagalan sistem istana membaca tanda-tanda krisis.
Tafsir dari al-Zamakhsyari dan al-Qurthubi juga menekankan bahwa ini adalah titik balik: istana butuh suara lain, yang bukan dari kalangan elite biasa. Dan di sinilah Yusuf tampil, bukan sebagai bagian dari sistem, tapi sebagai tawanan yang membawa tafsir sejati: tafsir berbasis akal, data, dan—kalau boleh kita pinjam istilah kekinian—visi jangka panjang.
Baca juga: Catatan Cak AT: Ketika Barcode Jadi Ancaman Geopolitik
Maka, ketika Ustadz Adi Hidayat menyebut ayat ini dalam peluncuran Gerina, sesungguhnya ia tidak sedang menafsirkan mimpi, tapi menyentil kenyataan. Bahwa di tengah krisis global, kelaparan, dan ketergantungan pangan, kita butuh “tafsir Yusuf” yang mampu membedakan antara adhghātsu ahlām (wacana basa-basi) dan ra'yā ṣhādiqah (visi yang tepat dan nyata).
Ketahanan pangan bukan sekadar menyimpan beras dalam karung cadangan atau di lumbung desa, tapi memastikan rakyat mampu dan tahu cara menanam. Bahkan, menemukan teknik bertanam di lahan-lahan kritis, dari yang tandus hingga yang berawa penuh buaya.
Dan swasembada pangan? Itu bukan slogan, melainkan mimpi yang harus ditafsirkan dan dijalankan. Bedanya jelas. Ketahanan pangan adalah kemampuan bertahan dari kelaparan, meskipun dengan bantuan luar. Sedangkan swasembada pangan adalah kemampuan mencukupi kebutuhan pangan sendiri, dari tanah sendiri, oleh tangan sendiri.
Nah, tafsir pemuda Yusuf sang tawanan mengajarkan keduanya: ketahanan untuk bertahan hidup selama tujuh tahun masa paceklik, dan swasembada untuk menyiapkan tujuh tahun panen. Tafsir inilah yang selama ini terpendam di ribuan kitab, baru kini diungkap dalam aksi nyata berbentuk suatu gerakan massal anak negeri.
Baca juga: Catatan Cak AT: Transformasi Bank DKI, Digitalnya Ketinggalan Indonesia
Kita beralih ke Presiden Prabowo Subianto yang hadir di acara. Ia senang. Sangat senang. Teramat senang. Begitu senangnya, hingga ia menyatakan rasa senang dan rasa bahagianya mungkin hampir sepuluh kali. Para ahli retorika barangkali akan menyebut ini sebagai teknik pengulangan untuk penekanan.
Tapi bagi saya yang sedang menulis esai, ini bisa jadi bentuk kebahagiaan yang panik. Bahwa akhirnya, dari sekian banyak proyek besar yang mengandalkan teknologi, alutsista, dan diplomasi pangan, datang juga solusi dari gerakan sederhana akar rumput: menanam padi, singkong, dan jagung di rawa yang luas dan di pekarangan yang sempit.
Presiden memuji inisiatif UAH dan para ulama sebagai “penemuan berbasis riset”, meskipun teknik menanam padi di atas air atau di pot-pot pekarangan sebetulnya sudah lama. Tapi, maaf saja, ini agak terdengar seperti memuji santri karena berhasil menanam kangkung, seolah-olah mereka sebelumnya hanya bisa menanam hafalan.
Tapi di situlah keindahannya: inilah tafsir praktis dari Yusuf. Sebuah negeri kokoh bukan karena surplus kata-kata, melainkan karena surplus pangan. Gerina, dalam semangatnya, adalah tafsir Yusuf yang didirikan di atas rawa-rawa hingga pekarangan rakyat. Ia bukan tafsir elite, bukan pula retorika panggung.
Baca juga: Catatan Cak AT: Penjurusan Reborn, Menghidupkan Stigma
Gerina adalah ajakan konkret: Tanami sejengkal tanah, sebelum lapar menanamkan kecemasan; Ajak lintas iman, karena perut tak mengenal agama; Bangun visi jauh ke depan, sebagaimana Yusuf tak hanya membaca mimpi yang multitafsir, tapi menyusun kebijakan pangan tujuh tahun ke depan.
Jika Yusuf berdiplomasi dengan sang raja Mesir, dibantu aparatnya, kali ini UAH menyampaikan visi dan kebijakan pangan, disertai gerakan konkret Gerina, kepada seorang kepala negara visioner, Presiden Prabowo Subianto. UAH seolah tampil sebagai Yusuf masa kini, sementara Prabowo seolah sang raja.
Sebagai penutup, mari kita akhiri dengan kesimpulan reflektif: Tafsir Yusuf ayat 44 mengajarkan kita bahwa sebuah bangsa akan kelaparan bukan hanya karena ladangnya kering, tapi karena mimpinya tidak ditafsirkan oleh pemimpin negeri, dan tanahnya tidak ditanami oleh rakyat, semuanya.
Jangan sampai kita menjadi para ahli istana yang berkata, “Ini hanya bunga-bunga tidur,” sementara rakyat bertanya: “Lalu siapa yang akan menanamkan harapan?”
Gerina bukan hanya gerakan menanam cabai. Ia adalah tafsir kehidupan. Tafsir dari ladang, hasilnya disimpan di lumbung, untuk mengisi lambung. Tafsir dari mimpi menuju nasi. Tafsir dari Yusuf, melalui UAH, hingga Prabowo pun berapi-api menyambutnya.
Dan semoga yang tertanam bukan hanya biji, tapi juga akal sehat dan semangat kebangkitan. Dan kalau bangsa ini bisa menafsir mimpi jadi strategi, mengapa tidak menafsir nasi sebagai strategi pula? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 25/4/2025