Catatan Cak AT: Tragedi Digital di Ujung Malam

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pada suatu malam yang penuh harapan akan mimpi indah dan tidur lelap, sepasang mata masih terpaku pada cahaya biru yang memancar dari ponsel.
Ia bukan peneliti, bukan pula jurnalis. Ia hanya manusia biasa yang sekadar ingin "scroll TikTok 5 menit aja" sebelum tidur.
Empat puluh lima menit kemudian, ia menemukan dirinya masih tertawa kecil melihat video kucing menari dengan latar lagu remix al-Qur’an surah Ar-Rahman. Ironis? Tentu.
Tapi itulah potret banyak dari kita hari ini: jadi tawanan layar, tepat di waktu tubuh minta istirahat.
Baca juga: Catatan Cak AT: Politik 'Kayyum' ala Turki
Sebuah studi dari Norwegia yang dirilis pada 31 Maret 2025 menyampaikan fakta cukup mengganggu: satu jam menggunakan gawai sebelum tidur dapat mengurangi durasi tidur sebanyak 24 menit dan meningkatkan risiko insomnia sebesar 59 persen. Gawat!
Penelitian ini melibatkan lebih dari 45 ribu anak muda berusia 18-28 tahun. Jumlah ini cukup besar untuk menyimpulkan, kita tak hanya punya masalah tidur—kita punya epidemi digital-induced sleep deficit disorder. Atau bahasa gaulnya: Ngantuk tapi belum bisa lepas dari HP.
Lebih mengejutkan, ternyata bukan hanya media sosial yang menjadi tersangka utama. Menonton film, membaca artikel (seperti yang sedang Anda lakukan sekarang), bermain gim, hingga mendengarkan podcast —semuanya menyumbang andil dalam kekacauan tidur kita.
Seolah malam tak lagi untuk merem, tapi untuk menyerap cahaya dari layar seperti tanaman photosintesis yang salah jadwal.
Baca juga: Catatan Cak AT: Ayat Tanah di Lingkar Kuasa Oligarki
Para ilmuwan sepakat bahwa paparan cahaya terang (terutama biru) dapat menurunkan produksi melatonin, hormon sakti mandraguna yang bertugas meninabobokan kita secara biologis. Saking tergantungnya pada ruang gelap, hormon yang satu ini dijuluki hormon kegelapan.
Sialnya, otak kita belum upgrade dari versi Homo Sapiens v.50.000 BC. Kita dalam hal ini masih seperti manusia purba.
Menurut Dr. Leah Kaylor, otak kita masih bekerja seperti otak manusia gua, yang terbiasa tidur saat matahari terbenam dan bangun saat ayam jago berbicara.
Cahaya dari layar ponsel di pukul 11 malam bagi otak kita adalah semacam matahari palsu yang mengelabui jam biologis. Namun jangan terlalu cepat menyalahkan warna biru. Studi lanjutan menunjukkan bahwa semua cahaya terang bisa berdampak buruk.
Baca juga: Catatan Cak AT: Hegemoni Berkedok Narasi 'Ancaman AI China'
Apa pun warna cahaya terang itu, mau biru, kuning, hijau stabilo, atau magenta neon, semuanya sama-sama menggagalkan usaha tubuh untuk tidur nyenyak. Ini bukan soal estetika layar, tapi soal tubuh yang butuh gelap untuk bisa istirahat, agar hormon melatonin diproduksi.
Menurut laporan Casper-Gallup, sekitar 84 juta orang dewasa di Amerika—atau sepertiga dari populasi—mengaku kualitas tidurnya hanya “cukup” atau “buruk.” Yang lebih muda, lebih parah. Dalam studi lain, 93% Gen Z mengaku sengaja tidur lebih malam demi sosial media.
Alasan sebagian besar mereka bukan karena FOMO (fear of missing out), tapi karena memang sudah menjadi ritual harian: scroll-scroll, kagum-kagum, tertawa sendiri, lalu baru sadar waktu sudah dini hari. Ini bukan hanya kehilangan waktu tidur. Ini perampokan kesehatan yang kita izinkan secara sukarela.
Baca juga: Anggota DPRD Depok Dorong Insentif Bebas PBB untuk Rumah Kader dan Pengelola Bank Sampah
Kurang tidur bukan sekadar jadi lemas dan malas di pagi hari. Efeknya jangka panjang dan sangat serius. Risiko meningkat untuk tekanan darah tinggi, diabetes, obesitas, depresi, serangan jantung, hingga stroke. Seolah-olah kurang tidur adalah rokok generasi digital: kita tahu bahayanya, kita tahu harus berhenti, tapi kita masih melakukannya juga —dengan penuh gaya.
Lucunya, studi Norwegia tadi menyebut bahwa pengguna media sosial eksklusif justru tidur lebih lama daripada yang menggunakan gawai untuk campur-campur aktivitas. Apakah ini berarti media sosial tidak seberbahaya itu? Atau kita hanya belum cukup jujur soal apa saja yang kita lakukan sambil "scroll IG 5 menit aja"?
Sebagai solusi, para ahli menyarankan beberapa langkah sederhana, meski secara praktik sering terasa mustahil:
- Matikan notifikasi, gunakan mode Do Not Disturb.
- Taruh ponsel di luar kamar (serius, masih bisa hidup kok tanpa alarm HP).
- Gunakan fitur filter cahaya biru —minimal effort, maksimal guilt reduction.
- Coba mengganti kebiasaan scrolling dengan membaca buku fisik (bukan e-book, ya).
- Dan yang paling sulit: tetapkan jam tidur dan bangun yang konsisten.
Baca juga: Guru Besar UI Beri Solusi Lewat Manfaat Lignoselulosa Sebagai Bahan Baku Obat
Ada juga gerakan "sleep hygiene" yang kini banyak digaungkan di TikTok, suatu gerakan yang terasa ironis. Tapi jika nasihat tidur datang dari platform yang menyebabkan insomnia, bukankah itu seperti membeli obat sakit kepala dari tukang palu?
Tidur boleh dikata barang langka di era berlimpah informasi. Kita hidup di masa di mana segala informasi tersedia 24/7, tapi tidur nyenyak justru menjadi kemewahan langka. Kita tidur sambil memegang ponsel, bangun dan langsung menatap ponsel, seolah-olah Tuhan menciptakan malam untuk recharging baterai —baterai HP, bukan tubuh kita.
Kita perlu refleksi ulang. Barangkali, perjuangan manusia modern bukan lagi soal bagaimana hidup lebih lama, tapi bagaimana bisa tidur lebih nyenyak. Di dunia yang semakin bising ini, siapa tahu revolusi kesehatan dimulai dari tindakan paling radikal: mematikan layar.
Selamat tidur, jika bisa. Kalau tidak, ya selamat datang di klub insomnia. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 19/4/2025