Home > Kolom

Catatan Cak AT: Stempel Legal Dosa Jokowi

Barangkali, banyak yang tak tahu lebih dalam maksud di balik legislasi UU TNI yang baru ini, meskipun yang diubah hanya 3 pasal. Atau, jika tahu, jangan-jangan mereka tak henti berdemo?
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Stempel Legal Dosa Joko. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) 
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Stempel Legal Dosa Joko. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di Senayan, pada 20 Maret 2025, para wakil rakyat mencetak rekor baru dalam kecepatan legislasi. Revisi Undang-Undang TNI disahkan dalam waktu yang nyaris menyaingi kilat di siang bolong: terang benderang, mengejutkan, dan bikin banyak orang refleks turun ke jalan.

Demonstrasi merebak di depan Gedung DPR dan berbagai kota, memperlihatkan bahwa tak semua orang setuju dengan cara "ngebut" seperti ini.

Barangkali, banyak yang tak tahu lebih dalam maksud di balik legislasi UU TNI yang baru ini, meskipun yang diubah hanya 3 pasal. Atau, jika tahu, jangan-jangan mereka tak henti berdemo?

Seperti biasa, setelah keputusan besar, muncul gelombang komentar dari pakar, akademisi, hingga tukang kopi.

Salah satu yang menarik perhatian adalah mantan Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus Widjojo.

Menurutnya, revisi UU TNI ini tak lebih dari upaya melegalkan apa yang sudah terjadi selama satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Presiden ke-7, Joko Widodo.

Ini bukan perubahan aturan, ini hanya memberi cap halal pada praktik yang sebenarnya sudah berjalan lama, sindirnya dalam diskusi di Kompas TV.

Selama pemerintahan Jokowi, ribuan perwira aktif TNI dikaryakan di berbagai jabatan sipil, menciptakan dinamika unik dalam hubungan sipil-militer.

Ada total 2.569 perwira yang tersebar di 14 kementerian dan lembaga negara. Kementerian Pertahanan, yang dulu dipimpin Prabowo Subianto, menyerap sebagian besar dengan lebih dari 1.500 perwira.

Sisanya tersebar di Badan Intelijen Negara (BIN), Mahkamah Agung, Lembaga Ketahanan Nasional, Bakamla, Kejaksaan Agung, hingga Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Nama-nama lembaga ini mungkin terdengar biasa saja —sampai kita menyadari bahwa tidak ada unsur kemiliteran yang seharusnya melekat di sana.

Namun, sejak era Jokowi, perwira TNI sudah masuk dan berperan aktif tanpa ada yang coba mengusik, seolah itu lumrah saja.

Revisi UU TNI kali ini, menurut Agus, bukan sekadar penyesuaian kecil, tetapi pergeseran besar yang mengubah kembali paradigma reformasi TNI.

"Dulu kita mati-matian menarik militer ke barak, sekarang justru kita panggil kembali ke segala lini kehidupan sipil," katanya, seolah ingin mengingatkan bahwa sejarah punya kebiasaan buruk untuk berulang.

Dan ia menyebut pasal. Salah satu contoh nyata ada pada Pasal 47. Versi asli UU TNI 2004 tidak pernah menyebut soal keterlibatan TNI dalam Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tetapi sekarang kata "bencana" dimasukkan secara resmi.

Hal serupa terjadi dengan pertahanan siber, yang sebelumnya tidak ada dalam UU lama, tetapi kini dilegalkan atau dihalalkan. "Banyak jabatan sipil yang dulu diisi tentara secara diam-diam, sekarang dibuatkan pasalnya agar sah," lanjut Agus.

Lebih jauh, revisi ini juga menambah daftar tugas TNI. Dari 14 operasi militer selain perang, kini menjadi 16. Artinya, selain bertempur dan menjaga kedaulatan, mereka kini harus menghadapi ancaman siber serta melindungi kepentingan nasional di luar negeri.

Dengan kata lain, tentara Indonesia harus siap bertempur melawan hacker bersenjata laptop dan menyelamatkan WNI yang mungkin kena tilang di negeri orang.

Namun, yang lebih menggelitik, ketentuan yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga negara.

Dengan ini, bukan tidak mungkin kita akan melihat jenderal aktif menangani urusan ketahanan pangan, atau bahkan festival seni dan budaya. Mengapa tidak? Toh, siapa yang lebih paham strategi bertahan hidup selain mereka yang dilatih untuk berperang?

Tak berhenti di situ, batas usia pensiun perwira tinggi juga diperpanjang menjadi 63 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang dua kali jika negara masih membutuhkan.

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini cara halus untuk mengubah tentara menjadi pegawai negeri sipil dengan seragam lebih keren?

Atau justru, itu bentuk penghormatan terhadap pengalaman tempur yang panjang? Bayangkan seorang jenderal 65 tahun masih harus mengikuti latihan militer pagi-pagi buta. Itu bukan lagi patriotisme, itu olahraga ekstrem.

Di tengah semua ini, yang lebih menarik adalah sikap Prabowo. Sebagai Menteri Pertahanan di era Jokowi, ia tentu paham bahwa banyak kebijakan pendahulunya melanggar UU TNI. Ya, itu tadi, menempatkan 2.569 orang perwira aktif di pemerintahan.

Namun, alih-alih membenahi, Prabowo malah memilih jalur legalisasi dengan mengubah UU TNI, yang terjadi kali ini. Seperti anak sekolah yang malas belajar, lalu mengubah peraturan agar mencontek menjadi sah.

Seolah-olah, kesalahan konstitusional yang dilakukan Jokowi kini diberi stempel legal oleh Prabowo. Inikah bentuk lain ucapan terima kasih Prabowo pada Jokowi, setelah sebelumnya di Sentul?

Jadi, apakah ini langkah maju atau mundur? Agus Widjojo tidak mengatakan secara eksplisit, tetapi nada suaranya cukup membuat kita paham bahwa ini bukan sekadar soal efisiensi pemerintahan, melainkan tentang bagaimana demokrasi kita dipertaruhkan.

Militer memang penting, tetapi apakah harus masuk ke setiap sudut kehidupan sipil?

Pemerintah berargumen bahwa inilah cara optimal untuk memanfaatkan sumber daya manusia TNI yang memiliki keahlian strategis. Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah ini memperkuat tata kelola pemerintahan, atau justru memperlemah batas antara sipil dan militer?

Kilat memang bisa menyambar dengan cepat, tetapi membangun demokrasi adalah kerja jangka panjang. Jika revisi ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa, tentu bisa diterima.

Namun, jika tidak, itu justru mempersempit ruang sipil dan memperbesar bayangan militer dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sedang berlari mundur sambil berpura-pura maju. (***)

Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 21/3/2025

× Image