Catatan Cak AT: Jalur Karier Korupsi

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Pernahkah Anda merasa bahwa bekerja keras, jujur, dan berintegritas hanyalah resep menuju kelelahan tanpa hasil? Jika iya, maka selamat! Anda mungkin telah menyadari bahwa di Indonesia, negeri yang kaya akan peluang ini, ada jalur karier yang jauh lebih menguntungkan: korupsi.
Tidak percaya? Jangan khawatir, Leigh McKiernon, seorang headhunter eksekutif di Indonesia dengan pengalaman 17 tahun, telah menuliskan panduan berharga bagi siapa saja yang ingin sukses tanpa benar-benar berusaha. Ini dibuat berdasar kesimpulannya dari menyelami dunia karier di Indonesia.
Dalam artikel satirisnya di LinkedIn, Corruption as a Career Path: How to Succeed in Indonesia Without Really Trying, ia mengungkapkan bahwa di Indonesia, membangun bisnis dengan jujur itu kebodohan, sementara memperkaya diri lewat celah sistem malah dihormati. Ini kesimpulan dari pengalamannya.
Di dunia yang penuh ketidakpastian, satu hal tetap konstan: korupsi tidak mengenal resesi. Beda dari bisnis konvensional yang sering terancam bangkrut akibat inflasi atau krisis global, korupsi terus berkembang pesat. Tidak ada istilah “bubble burst”di sini —yang ada hanya bubble transfer, dari dana publik ke rekening pribadi.
Lebih hebatnya lagi, tulis McKiernon, industri korupsi menawarkan keamanan kerja terbaik.
Jika di pekerjaan biasa, ketidakmampuan bisa membuat Anda dipecat, di dunia korupsi, ketidakmampuan justru bisa menjadi aset.
Semakin Anda terlihat “tidak tahu apa-apa,” semakin aman posisi Anda. Anda bukan ancaman, Anda bagian dari sistem!
Berdasarkan observasi McKiernon, ada empat langkah sederhana untuk sukses dalam industri korupsi yang makin membudaya di Indonesia.
Pertama, pilih pekerjaan yang mengelola uang publik. Lupakan startup, fintech, atau teknologi tinggi. Jika Anda ingin kaya, bergabunglah dengan sektor yang mengelola dana rakyat.
Infrastruktur, BUMN, proyek pembangunan, bidang-bidang "basah" di pemerintahan? Itu tambang emas bagi mereka yang menempuh karier korupsi.
Semakin besar anggarannya, semakin fleksibel cara mengaturnya. Judul program dan anggarannya sudah biasa dibuat asal-asalan, soal pelaksanaannya, nantilah bisa diatur. Cincai.
Kedua, kembangkan koneksi, bukan kompetensi. Dokumen CV Anda tidak perlu dipenuhi dengan gelar dan pengalaman kerja yang cemerlang. Yang Anda butuhkan hanyalah satu grup WhatsApp dengan orang-orang yang tepat. Satu pertemanan strategis bisa lebih berharga dari gelar MBA dari Harvard.
Ketiga, pelajari seni “anggaran gaib.” Jangan pernah mencuri secara terang-terangan. Itu untuk amatir. Gunakan skema yang lebih elegan: proyek fiktif, studi kelayakan tanpa hasil, atau markup harga hingga lima kali lipat. Jika ada yang bertanya? Salahkan kesalahan administratif atau “kondisi ekonomi global yang tidak menentu.”
Keempat, normalisasi budaya. Strategi paling cerdas bukan hanya mengambil keuntungan sendiri, tapi membuat sistem ini terlihat sebagai sesuatu yang wajar, hingga seolah tak terjadi apa-apa, seperti semuanya berjalan normal sesuai budaya yang selama ini ada. Jika cukup banyak orang mendapat bagian, maka siapa yang akan protes?
Dilema moral? Itu urusan orang miskin. Mungkin ada suara kecil di kepala Anda yang bertanya: "Tapi, bukankah ini salah?" Ha! Pertanyaan naif seperti itu tidak akan membawa Anda ke mana-mana. Seperti yang McKiernon tulis dengan jenaka, etika hanyalah beban bagi mereka yang belum menemukan cara memanfaatkannya.
Di dunia nyata, siapa yang lebih sejahtera: mereka yang bekerja keras dengan jujur, atau mereka yang dengan lihai memanipulasi sistem?
Jika Anda ragu, cukup lihat gaya hidup para "tokoh sukses" yang menghiasi berita nasional. Bukankah setiap hari muncul berita sukses korupsi, kali ini bukan lagi bernilai miliaran, tapi ratusan triliun.
Meskipun artikel McKiernon ditulis dengan humor gelap, ia sebetulnya hendak menggambarkan realitas yang tidak bisa diabaikan.
Inilah kenyataan pahit yang kita hadapi sebagai bangsa beragama, fakta yang ditulis orang asing dengan nada cemooh. Kita bisa saja tertawa, namun apakah kita hanya akan berhenti di sana?
Korupsi bukan sekadar persoalan individu, melainkan sistem yang dibuat sedemikian rupa agar sulit ditembus.
Jika kita benar-benar ingin mengubahnya, kita harus berhenti melihatnya sebagai sesuatu yang “biasa” dan mulai menuntut transparansi serta akuntabilitas. Dan sepertinya, KPK sudah tak sanggup lagi menangani penyakit akut ini?
Jadi, kembali ke soal karier, apakah Anda masih ingin tetap jujur dan bekerja keras dengan membanting tulang dan memutar otak?
Jika iya, Anda adalah orang langka —dan semoga, di suatu hari nanti, sistem di negeri yang katanya makin gelap ini akan berpihak kepada orang-orang seperti Anda. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 6/3/2025