Catatan Cak AT: Balada Bayar, Bayar, Bayar

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di suatu negeri yang katanya demokratis, ada satu lagu yang begitu kuat hingga harus ditarik dari peredaran hanya dalam hitungan jam.
Judulnya? "Bayar, Bayar, Bayar." Lagu punk asal Purbalingga ini awalnya hanya sekadar satire, nyanyian kecil yang mencubit realitas jpalanan.
Tapi siapa sangka, gigitannya ternyata cukup tajam untuk membuat sebagian orang tidak nyaman.
Liriknya yang menohok seolah mengandung kekuatan supranatural yang bisa mengancam stabilitas sebuah institusi besar, bahkan mungkin stabilitas nasional.
Atau setidaknya, itulah kesan yang ditinggalkan setelah para personel band Sukatani buru-buru melakukan klarifikasi dan permintaan maaf. Jika ada kompetisi "Lagu yang Paling Cepat Menghilang dari Internet," lalu "Bayar, Bayar, Bayar" bisa jadi juara bertahan.
Di platform Spotify? Kosong. Media sosial? Sunyi. Bahkan, para penggemarnya diminta untuk menghapus rekaman apa pun. Seakan-akan lagu ini sejenis virus komputer yang bisa merusak sistem jika terlalu banyak didengarkan.
Momen permintaan maaf band Sukatani hampir terasa seperti bagian dari ritual: vokalis punk, kini dengan wajah tanpa topeng, mengucapkan permohonan maaf di depan kamera, meyakinkan semua orang bahwa mereka tidak pernah berniat menyinggung institusi tertentu.
Lagu itu hanya ditujukan pada oknum, katanya. Ah, oknum! Kata ajaib yang bisa mengubah kritik menjadi sesuatu yang lebih dapat diterima. Mirip dengan seseorang yang berkata, "Saya tidak benci sayur, hanya tidak suka setiap kali ada di piring saya."
Tapi mari kita berpikir positif. Mungkin Sukatani memang benar-benar menyesal. Mungkin mereka mengalami pencerahan mendadak bahwa kritik yang terlalu tajam bisa membuat hidup lebih sulit. Atau mungkin mereka menghindari album berikutnya berjudul "Sidang dan Denda."
Yang menarik, pernyataan resmi dari Polri: kami tidak antikritik. Bahkan, mereka terbuka terhadap masukan. Pernyataan ini luar biasa. Kalau memang begitu, seharusnya tidak ada masalah dengan lagu itu, bukan? Tapi kenyataan berkata lain: lagu itu hilang, band itu meminta maaf.
Dan, entah kenapa yang memberi kritik justru yang harus menghilang duluan. Seperti seseorang yang berkata, "Silakan kritik saya," lalu buru-buru menghapus semua komentar di Instagram. Anda lihat, saat klarifikasi, wajah mereka yang tanpa bertopeng tampak gemetar.
Tapi kisah ini tidak berhenti di situ. Ada plot _twist_ yang lebih dramatis: vokalis Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti, ternyata seorang guru di sebuah SDIT. Setelah identitasnya terbuka akibat ritual permintaan maaf yang "tanpa paksaan" itu, ia pun konon dipecat dari sekolah.
Beberapa tetangganya terkejut. "Lho, kok bisa, seorang guru SDIT main punk?" Pertanyaan ini menarik. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa guru hanya boleh mendengarkan musik reliji atau minimal campursari. Seolah-olah menjadi punk itu tabu.
Seolah-olah mengajarkan anak membaca doa sebelum makan tidak boleh dikombinasikan dengan bermain musik yang mengkritik realitas sosial. Seolah-olah mengaji dan tilawah al-Qur'an itu tidak boleh dipanjang-pendekkan, dibaca dengan nada-nada indah.
Namun, justru dari sini api perlawanan terhadap budaya "bayar, bayar, bayar ke polisi" tumbuh. Ironisnya, bukan dari akademisi mapan atau aktivis dengan teori revolusi yang kompleks, tetapi dari seorang guru yang sempat memakai topeng superhero di atas panggung.
Dan kini, lagu "Bayar, Bayar, Bayar " malah berubah menjadi anthem perlawanan. Di tengah pemerintahan Prabowo yang mengangkat hampir semua elemen ke dalam kabinet untuk meminimalisir oposisi, justru gerakan protes ini muncul dari lapisan yang tak terduga.
Keberanian rakyat bangkit dari seorang guru SDIT, dari anak-anak punk di jalanan, dari orang-orang yang mulai sadar bahwa ekonomi membuat mereka terperosok ke dalam kelas prekariat. Hanya dari sebuah lagu dengan lirik sederhana tentang budaya "bayar" terus-terusan ke oknum.
Dulu, ada pertanyaan yang cukup mendasar: apakah gerakan non-agama bisa memobilisasi massa? Apakah tanpa simbol-simbol religius, masyarakat masih bisa bergerak bersama? Kini, jawabannya mulai terlihat nyata: iya!
Setelah ormas Islam ditekan melalui pengelolaan tambang dan partai politik disandera dengan kasus korupsi, suara protes itu ternyata tetap ada. Ia muncul dari para pekerja yang kehilangan daya beli, dari anak-anak muda yang melihat masa depan makin suram.
Juga, dari rakyat yang dulu apatis tapi kini geram. Dan ironisnya, api itu dinyalakan oleh sebuah lagu punk yang nyaris terlupakan.
Akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa para personel band Sukatani menarik lagu mereka? Apakah mereka takut? Apakah mereka ditekan saat dipanggil pihak Polda Jawa Tengah, di Semarang? Ataukah mereka hanya ingin menghindari polemik berkepanjangan?
Yang jelas, apa yang terjadi pada lagu "Bayar, Bayar, Bayar" adalah cerminan bagaimana kritik di negeri ini diperlakukan. Kritik boleh ada, tapi sebaiknya tidak terlalu keras. Kritik boleh diungkapkan, tapi harus diiringi dengan permintaan maaf, tapi lebih baik kalau tidak viral.
Mungkin di masa depan, jika ada musisi yang ingin membuat lagu kritik, mereka harus menambahkan disclaimer di awal lagu: "Lagu ini dibuat tanpa niat menyinggung pihak mana pun. Semua nama dan kejadian hanyalah fiksi belaka, suatu kebetulan yang tidak disengaja."
Dan jika ingin lebih aman lagi, judul lagunya tidak lagi "Bayar, Bayar, Bayar," tetapi "Doa dan Harapan untuk Kebaikan Semua Pihak." Tapi tentu saja, yang demikian bukan punk. Dan band Sukatani serta para punk lainnya pasti tahu itu. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23/2/2025