Catatan Cak AT: Sensasi Momika
![Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Sensasi Momika. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250208124207-138.jpg)
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada sebuah ironi dalam kisah ini: Salwan Momika, pria yang gemar membakar kitab suci demi sensasi, akhirnya tewas ditembak di kediamannya.
Entah oleh siapa, entah atas motif apa, tetapi satu hal yang jelas —ia sendiri adalah produk dari islamophobia dan ekstremisme yang ia mainkan.
Mari kita kuliti kisah ini satu per satu. Momika bukan orang Swedia asli. Ia lahir di Irak dan diketahui berlatar belakang Kristen.
Pada suatu titik dalam hidupnya, ia berimigrasi ke Swedia, negeri yang terkenal dengan kebebasan berekspresi. Kebebasan ini kemudian ia tafsirkan dengan caranya sendiri: membakar al-Qur'an di depan publik sambil mengumpulkan donasi di TikTok.
Aksinya ia lakukan berulang kali, mulai dari depan masjid hingga gedung parlemen. Setiap kali ia membakar kitab suci umat Islam, jumlah tontonan naik, sumbangan dari para penggemarnya mengalir, dan sensasinya makin besar.
Namun, ini bukan hanya soal viralitas. Ia secara sadar memancing amarah miliaran Muslim di seluruh dunia, dengan modal korek api dan selembar kitab suci.
Untuk meredam aksi balasan, Swedia berkoordinasi dengan banyak lembaga Islam dunia. Namun, aksinya kemudian berujung kematian tragis.
Pada 29 Januari 2025, Momika ditemukan tewas tertembak di apartemennya di Södertälje, Swedia. Kepolisian dan Badan Keamanan Swedia langsung turun tangan. Bahkan Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, menyebut kasus ini berpotensi melibatkan kekuatan asing.
Apakah ini pembalasan dari pihak yang sakit hati? Apakah ini skenario lebih besar, seperti operasi intelijen? Atau justru ini hanyalah akhir dari lingkaran islamophobia dan ekstremisme yang ia ciptakan sendiri? Belum ada penjelasan pasti. Yang jelas, ia bermain-main dari islamophobia, ekstremisme ke monetisasi. Antara prinsip dan pundi-pundi.
Mungkin banyak yang mengira bahwa aksi Momika didasarkan pada ideologi kebencian yang mendalam terhadap Islam.
Tak dapat disangkal, seperti dilakukan para pembenci Islam lainnya, ia membakar kitab suci seolah pertunjukan teater. Tapi jika kita melihat lebih dalam, ada juga motif ekonomi yang lebih pragmatis.
Platform media sosial, khususnya TikTok, menjadi panggung bagi siapa pun yang ingin mengkapitalisasi kontroversi.
Momika mengakui bahwa dari aksi-aksinya, ia bisa mengantongi sekitar $100–$300 per jam siaran langsung. Sebuah angka yang cukup menggiurkan bagi orang yang hanya perlu menyalakan korek api untuk meraup keuntungan.
Namun, ketika TikTok akhirnya memblokir akun dan fitur donasinya, daya tarik ekonominya mulai redup. Apakah setelah itu ia tetap beraksi demi "prinsip," atau sekadar mempertahankan popularitas yang mulai pudar? Tak begitu jelas. Namun, dia sudah berinventasi permusuhan, kebencian, dan amarah, yang mungkin berakhir pada penembakannya.
Kasus Momika adalah contoh klasik dari bagaimana islamophobia yang dibakar ekstremisme, jika dibiarkan liar, bisa menjadi bumerang.
Kebebasan berekspresi memang hak yang harus dijaga di dunia yang beradab, tetapi bagaimana jika kebebasan itu dipakai untuk memicu kebencian dan konflik? Aksi teatretikalnya sudah kebablasan.
Swedia, dengan segala keterbukaannya, justru harus menanggung dampak politik dari aksi Momika. Negara itu menghadapi kecaman internasional, ancaman keamanan meningkat, bahkan harus mengeluarkan biaya ekstra hingga Rp3 miliar hanya untuk menangani dampak aksi provokatif ini.
Bagaimana kita mestinya bersikap? Pertama, kita harus jeli membedakan antara kritik dan provokasi. Kritik membangun, yang biasa tumbuh di negeri terbuka dengan sistem demokrasi yang kuat, seharusnya berbasis argumen dan dialog, bukan tindakan destruktif yang hanya memancing emosi.
Kedua, kita jangan sampai terpancing, apalagi terkungkung, dalam jebakan media sosial yang mengamplifikasi konflik. Tontonan Momika hanyalah aksi sia-sia, penuh kebencian dan permusuhan terhadap agama Islam. Selebihnya, tontonan kosong di dunia maya hanya menguntungkan mereka yang mencari uang dari kontroversi.
Ketiga, kita tidak boleh membalas ekstremisme dengan ekstremisme. Tindakan kekerasan, jika memang benar Momika dibunuh sebagai aksi balas dendam, hanya akan memperpanjang siklus kebencian. Yang kita butuhkan bukan pembalasan, tapi pemahaman lebih luas tentang bagaimana menangani perbedaan tanpa harus saling menghancurkan.
Momika jelas sudah tiada, tetapi fenomena seperti dirinya akan terus muncul. Selama ada media sosial yang memberikan insentif pada provokator, selama ada massa yang mudah terpancing, dan selama kebebasan berekspresi tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial, islamophobia dan ekstremisme akan tetap menemukan panggungnya.
Dan kita, sebagai penonton yang punya hati nurani bercahaya, harus lebih bijak memilih: apakah kita akan ikut terbakar dalam provokasi, atau kita memilih untuk memadamkannya dengan akal sehat? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 8/2/2025