Home > Galeri

Kasokandel: Legenda Leluhur, Pusaka Berdarah, dan Pertarungan dengan Industri

Ia, Sudono, pensiunan penilik kebudayaan, yang kini menjadi salah satu penjaga cerita lama desa ini. Kamis (04/09/2025).
Ilustrasi Kambang bertemu leluhur Leuweung Kaso dalam sejarah Kasokandel. (Foto: ilustrasi Chat GPT)
Ilustrasi Kambang bertemu leluhur Leuweung Kaso dalam sejarah Kasokandel. (Foto: ilustrasi Chat GPT)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Siang itu, Kantor Desa Kasokandel, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, tampak sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berdecit di langit-langit.

Dari kursi kayu sederhana, seorang lelaki berambut rapih klimis duduk dengan sikap tenang.

Ia, Sudono, pensiunan penilik kebudayaan, yang kini menjadi salah satu penjaga cerita lama desa ini. Kamis (04/09/2025)

“Desa ini bermula ketika Buyut Bungkar membuka hutan Kasokandel,” ujarnya, memulai kisah dengan nada semangat.

Baca juga: MY BABY Momversity 2025: Dampingi Ibu Membersamai dan Membangun Generasi Hebat Masa Depan

Kalimat itu mengantar pendengarnya masuk ke ruang waktu yang jauh, ketika hutan lebat masih menutupi wilayah Kasokandel. Dari situlah lahir legenda, pusaka, dan mitos yang membentuk identitas desa.

Pertemuan Ayah dan Anak

Sudono menuturkan bahwa nama Kasokandel lahir dari peristiwa pertemuan antara Arya Salingsingan, bangsawan Kerajaan Talaga Manggung, dengan putranya, Kambang.

Arya sempat merantau ke Cirebon menikah, lalu meninggalkan keluarganya di Cirebon ke Talaga. Saat Kambang dewasa, ia pergi mencari ayahnya. Perjalanan membawanya menembus hutan purba, yang kala itu disebut Wana Ageung atau Leuweung Gede.

Di tengah belantara, Kambang bertemu Aki Bantaok dan Nini Mantaok, sebelum akhirnya sampai di wilayah yang kini dikenal sebagai Kasokandel. Pertemuan dengan ayahnya penuh keharuan. Di sanalah Arya Salingsingan berkata, “Nanti di Leuweung Kaso ini tempat saya tinggal akan disebut Kasokandel.”

Baca juga: Jadi Tersangka Kasus Korupsi, Nadiem Makarim Ditahan di Rutan Salemba

Kepala Desa Kasokandel, Kusno, menambahkan penjelasan lain. Menurutnya, nama itu juga bisa berasal dari tanaman kaso, tumbuhan mirip tebu yang tumbuh subur di wilayah tersebut. “Hingga kini pohonnya masih bisa ditemui,” katanya.

Jejak Para Pandai

Sejarah Kasokandel tak hanya berhenti pada kisah leluhur. Asep Sunanto, keturunan tokoh Pandai, menuturkan bahwa Arya Salingsingan pernah mengundang para pandai atau ahli perkakas besi dari daerah Pandai di Majalengka untuk menetap di Kasokandel karena sebagian besar masyarakat disini adalah para petani .

“Dua kali ajakan ditolak, karena mereka kebanjiran pesanan perkakas. Baru pada tawaran ketiga mereka bersedia pindah,” ujar Asep.

Tawaran itu berupa lahan garapan dan jaminan hidup agar para petani di Kasokandel memiliki berbagai macam alat untuk menunjang perkajaan di ladang. Sejak saat itu, Kasokandel tumbuh dengan tradisi pertukangan besi. Warga belajar menempa, membuat alat pertanian, hingga senjata. Ketrampilan itu menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah desa.

Baca juga: Ketua DPR Kumpulkan Pimpinan Fraksi, Ada Apa?

Pusaka Berdarah

Salah satu peninggalan yang masih dipercaya hingga kini adalah Golok Paut Nyere. Menurut Sudono, pusaka itu ditempa pada bulan Mulud, malam Jumat pukul 12. Golok tersebut dipakai Uyut Karsani, pejuang lokal, untuk melawan penjajah Belanda.

Keistimewaan golok ini adalah bilahnya yang menolak bersih. “Setiap kali dicuci saat ritual Ruwatan 12 Mulud, noda darah di bilahnya tidak pernah hilang,” kata Sudono. Bagi warga, golok ini adalah simbol perlawanan dan saksi bisu perjuangan leluhur.

Tragedi yang Tak Pernah Usai

Kisah lain datang dari keluarga Sudono sendiri. Kakeknya, U. Djunaedi, seorang tentara sekaligus kepala desa, tewas dibunuh Belanda setelah dikhianati mata-mata.

“Hingga sekarang makamnya tak pernah ditemukan,” tutur Sudono dengan wajah muram. Misteri itu menambah daftar panjang cerita kelam Kasokandel.

Baca juga: Catatan Cak AT: Demo atau Rusuh

Sumur Penyembuh

Selain sejarah dan pusaka, Kasokandel juga dikenal dengan mitos sumur di Blok Cigobang. Air sumur itu diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Warga dari desa sekitar sering datang, membawa botol untuk menampung airnya.

Bagi masyarakat, sumur itu bukan sekadar sumber air, melainkan simbol keyakinan dan harapan. Kisahnya diwariskan turun-temurun, menjadi bagian dari identitas desa.

Antara Leluhur dan Industri

Kini, wajah Kasokandel berubah drastis. Dari desa dengan cerita leluhur dan mitos, ia bertransformasi menjadi kawasan industri. Pabrik-pabrik berdiri, menyerap tenaga kerja lokal. Jalanan yang dulu lengang kini kerap macet oleh truk dan motor pekerja.

Bagi sebagian warga, kehadiran industri membawa berkah ekonomi. Tapi bagi yang lain, budaya dan sejarah Kasokandel makin terpinggirkan.

Baca juga: Dipecat Tidak Hormat, Kompol Kosmas Masih Pikir-pikir Ajukan Banding

Rohendi, Ketua BPD Desa Kasokandel, mengaku khawatir. “Kami tidak ingin kehilangan momentum awal perjalanan desa ini. Sejarah dan kebudayaan harus dirawat, dijadikan warisan,” katanya.

Menjaga yang Tersisa

Di ruang Kantor Desa Kasokandel, Sudono masih setia bercerita. Baginya, kisah-kisah itu bukan sekadar dongeng, melainkan warisan yang harus dijaga.

“Generasi muda boleh bekerja di pabrik, tapi mereka juga harus tahu dari mana desa ini berasal,” ujarnya, menutup wawancara.

Kasokandel kini berdiri di persimpangan: antara pusaka leluhur dan deru mesin pabrik, antara mitos dan modernitas. Selama ada orang-orang yang mau menuturkan kisah, desa ini tak akan kehilangan jejaknya. (***)

Journalist (Eko Widiantoro)

× Image