Catatan Cak AT: Demokrasi Yang Penuh Bug
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Demokrasi, kata sebagian orang, termasuk sistem terbaik yang pernah diciptakan manusia, meskipun penuh cacat.
Namun, ada juga yang berpendapat, demokrasi hanyalah eksperimen gagal yang sebaiknya segera ditutup, dikemas ulang, dan dikirim ke museum politik dunia.
Salah satu pengeritiknya yang paling vokal, Curtis Yarvin, seorang insinyur komputer yang tampaknya lelah dengan sistem yang ia anggap lamban, membingungkan, dan penuh "bug."
The New York Times baru-baru ini mewawancari Yarvin. Programmer yang menciptakan sistem Urbit —sebuah proyek pengganti Internet yang lebih banyak menarik minat para penggemar teori eksentrik ketimbang revolusi digital— ini kembali mengungkap gagasannya bahwa demokrasi merupakan sistem usang dan tak layak pakai.
Alih-alih parlemen dan pemilu, ia menawarkan monarki berbasis CEO: seorang pemimpin tunggal yang memiliki kekuasaan absolut, layaknya pemimpin perusahaan raksasa yang tak perlu repot-repot mendengar suara pelanggan.
Ide ini, tentu saja, mengundang gelak tawa dan kecemasan. Bagi para pemuja kebebasan, usulan Yarvin terdengar seperti naskah film distopia kelas B. Namun, di kalangan tertentu, terutama Silicon Valley dan lingkaran konservatif Amerika, pemikirannya memiliki daya tarik tersendiri.
Mungkin karena dalam benak mereka, dunia lebih baik jika dijalankan seperti startup teknologi —agile, disruptif, dan tanpa "demokrasi." Baginya, pemimpin kuat (seperti CEO) dapat mengambil keputusan cepat dan efektif tanpa terhambat oleh birokrasi atau proses demokratis yang lamban.
Meskipun ide-idenya terdengar seperti fantasi seorang penggemar teori konspirasi, Yarvin telah mendapatkan pengikut di kalangan elit kekuasaan.
Wakil Presiden terpilih JD Vance, misalnya, telah mengutip gagasan Yarvin tentang "de-wokeifikasi" institusi AS. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Marc Andreessen (venture capitalist) dan Peter Thiel (miliarder konservatif) telah memuji pemikirannya.
Thiel, salah seorang pendiri PayPal dan pendukung utama Donald Trump, menyebut Yarvin sebagai "sejarawan yang kuat."
Namun, Yarvin sendiri meragukan bahwa Trump atau pemerintahan mana pun akan benar-benar menerapkan idenya. Menurutnya, birokrasi AS terlalu kuat dan mengakar untuk diubah secara drastis. Trump, meskipun dianggap sebagai "CEO" yang kuat, tetap terbatas oleh sistem yang ada.
Di bawah nama samaran Mencius Moldbug, Yarvin menulis blog _Unqualified Reservations_ (2007-2014). Blog ini berisi esai-esai panjang yang mengkritik demokrasi, liberalisme, dan sistem politik modern.
Yarvin dikenal karena gaya penulisannya yang provokatif, penuh dengan referensi sejarah, dan sering kali sarkastik. Tulisan-tulisannya mencakup kritik terhadap media arus utama, akademisi, birokrasi pemerintah, dan sistem demokrasi secara umum.
Ada sesuatu yang ironis dalam argumen Yarvin. Ia mengkritik demokrasi karena dianggap dikuasai oleh segelintir elit yang berkedok "kedaulatan rakyat."
Namun, solusinya adalah mengganti sistem itu dengan sistem yang lebih elit lagi. Hanya kali ini, elitnya satu orang saja, seorang "raja CEO." Dalam teori Yarvin, tidak ada ruang bagi rakyat jelata untuk ikut campur. Demokrasi, katanya, terlalu banyak kompromi; lebih baik serahkan segalanya kepada satu orang dengan otoritas mutlak.
Yarvin mengklaim bahwa sejarah menunjukkan monarki bisa menjadi sistem yang efektif. Ia merujuk pada tokoh-tokoh seperti Franklin Delano Roosevelt (FDR), yang menurutnya bertindak seperti seorang "CEO" selama masa New Deal.
Yarvin berpendapat bahwa FDR mengambil alih kekuasaan hampir seperti seorang diktator, tetapi tindakannya dianggap positif karena menghasilkan perubahan besar.
Namun, argumen Yarvin ini diwarnai oleh selektivitas sejarah. Ia mengabaikan fakta bahwa banyak monarki dan diktator dalam sejarah justru membawa bencana.
Dari Nero hingga Hitler, Stalin, dan Mao, kekuasaan absolut sering kali berujung pada kekerasan dan penindasan. Yarvin mencoba membedakan antara "monarki yang baik" dan "monarki yang buruk," tetapi kriteria yang ia gunakan terkesan subjektif dan tidak konsisten.
Tentu, ide ini terdengar menggoda bagi mereka yang frustrasi dengan politik transaksional dan kelambanan birokrasi. Tapi apakah betul seorang pemimpin tunggal bisa lebih efektif? Ataukah kita hanya akan berakhir dengan kombinasi Elon Musk sebagai presiden dan sistem operasi Windows 98 sebagai konstitusi?
Di Indonesia, kritik terhadap demokrasi juga bukan barang baru. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru, kita telah menyaksikan berbagai eksperimen dengan demokrasi terbatas, demokrasi terpimpin, hingga demokrasi yang lebih mirip birokrasi kepemimpinan absolut.
Kritik terhadap demokrasi di negeri ini sering kali muncul dalam bentuk nostalgia otoritarianisme: bahwa dulu semuanya lebih "tertib," lebih "efisien," dan lebih "terkendali."
Beberapa akademisi dan politisi kita pun tak jauh berbeda dari Yarvin. Mereka mengatakan bahwa demokrasi hanya menghasilkan kebisingan, bukan kebijakan.
Pemilu dianggap ajang pemborosan, sementara rakyat—yang seharusnya pemegang kedaulatan—justru menjadi objek jual-beli suara. Jika Yarvin mengusulkan monarki CEO, di Indonesia, yang sering muncul adalah wacana "kepemimpinan kuat" ala orde lama yang penuh romantisasi.
Tentu, kritik terhadap demokrasi bukan berarti harus membuangnya begitu saja. Seperti halnya perangkat lunak, demokrasi membutuhkan pembaruan berkala, debugging, dan kadang-kadang, penghapusan fitur yang tidak berguna.
Namun, menggantinya dengan "monarki CEO" atau diktator yang "baik"? Itu seperti mengganti sistem operasi yang lambat dengan virus Trojan hanya karena tampak lebih "langsung" dan "efisien."
Curtis Yarvin dan para pengeritik demokrasi lainnya, baik di Amerika maupun di Indonesia, memiliki satu poin yang benar: demokrasi kita tidak sempurna.
Masih banyak cacat di dalamnya, seperti demokrasi yang kini sering dibajak para oligarki. Namun, solusinya bukanlah menukar kebebasan dengan otoritarianisme, melainkan memperbaiki sistem yang ada.
Demokrasi bisa jadi memang cacat, tapi dalam sejarah manusia, kita belum menemukan sistem yang lebih baik dalam menjaga hak dan kebebasan individu.
Jika ada yang berpikir bahwa seorang "raja CEO" atau "pemimpin kuat" adalah jawaban, mungkin yang sebenarnya dibutuhkan bukan penguasa baru, tetapi rakyat yang lebih sadar akan kekuatan dan tanggung jawab mereka dalam sistem ini.
Jadi, apakah demokrasi harus diperbaiki? Tentu. Apakah kita harus menggantinya dengan sistem monarki teknologi? Tidak, kecuali kita ingin hidup dalam dunia di mana algoritma dan oligarki menjadi satu-satunya hukum yang berlaku. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 3/2/2025