Catatan Cak AT: Manis di Bibir, Pahit di Jantung
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ah, minuman bergula —sekali teguk, betapa Anda merasa seperti tengah bercengkerama dengan surga. Tapi, siapa sangka, surga itu ternyata berdiri di atas tumpukan gula, lemak, dan statistik kematian yang mengerikan.
Kalau minuman bergula bisa bicara, mereka mungkin akan berkata, “Kami hanya ingin memaniskan hari Anda, bukan menghapus tahun-tahun hidup Anda dan mengantar pada kematian!” Namun, fakta keras dari riset terbaru membuktikan sebaliknya.
Menurut studi yang diterbitkan di Nature Medicine, sebanyak 2,2 juta kasus diabetes tipe 2 serta 1,2 juta kasus penyakit kardiovaskular di tahun 2020 dapat ditelusuri kembali ke minuman bergula.
Ah, betapa ironisnya! Sambil mengangkat gelas soda, kita rupanya juga sedang mengangkat beban kesehatan global yang makin tak tertahankan.
Penduduk Amerika Latin, Karibia, dan Afrika sub-Sahara, menurut studi tadi, merupakan korban utama manisnya gula yang sangat berbahaya. Bayangkan, di sub-Sahara, satu dari lima kasus baru diabetes tipe 2 terjadi akibat minuman bergula ini. Di kita? Belum ada studinya.
Dan jangan salahkan cuaca panas di sana. Mungkin juga di kita. Justru perusahaan-perusahaan minuman bergula ‘membakar’ mereka dengan iklan tak kenal henti, di televisi hingga Tiktok. Sungguh, eksploitasi komersial ini bagai kisah cinta beracun antara kapitalisme dan kalori.
Kalau Anda berpikir pendidikan tinggi akan menyelamatkan kita dari ‘manis-manis mematikan’, pikirkan lagi.
Di beberapa wilayah seperti Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan, masih menurut studi tadi, semakin tinggi pendidikan orang, semakin banyak gula yang mereka seruput.
Rupanya, semakin mereka cerdas, semakin manis pula selera mereka. Mungkin, mereka berpikir gelar doktor akan melindungi pankreas mereka dari serangan gula. Ternyata, tidak. Malah kematian yang lebih cepat menanti. Seolah otak tak mengenal kematian.
Minuman bergula termasuk kelompok makanan ultra-proses, kategori yang namanya saja sudah cukup membuat para dokter bergidik. Tapi jangan buru-buru mencemooh; soda justru primadona di kategori ini. Satu studi di Lancet menyatakan, soda termasuk salah satu ‘penjahat’ terburuk yang bertanggung jawab atas lonjakan diabetes tipe 2.
Namun, taipan perusahaan soda tak tinggal diam. Ketika negara-negara kaya mulai sadar akan bahaya ini, mereka mengalihkan pandangan ke negara-negara berkembang. Dengan senyum manis ala iklan, mereka menawarkan kebahagiaan instan dalam bentuk minuman bersoda. Tentu saja, itu dengan biaya: kesehatan masyarakat yang hancur lebur.
Di tengah gemuruh perdebatan tentang minuman bergula, muncul pertanyaan: jika tidak gula, apa? Para pakar menyarankan air berinfus buah, teh herbal, atau kombucha. Tapi, mari kita jujur. Berapa banyak dari kita yang ingin menyeruput air lemon hangat ketika yang kita inginkan hanyalah sensasi ‘pssst’ dari kaleng soda dingin?
Di sinilah letak tantangannya. Di banyak kebudayaan, minuman bergula sudah jadi kebiasaan suguhan pagi di rumah atau jamuan di hajatan kelas kampung hingga hotel, dan mengubah kebiasaan itu perkara rumit. Mengubah kebiasaan berbasis gula? Itu seperti meminta tikus untuk berhenti makan keju.
Studi ini menunjukkan, minuman bergula bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah budaya, politik dan ekonomi. Sementara negara-negara mencoba mengenakan pajak gula, perusahaan soda malah menggempur kita dengan iklan lebih gencar. Negara pun tak peduli, tak pernah mengatur soal ini.
Studi soal betapa berbahayanya minuman bergula ini merupakan alarm keras, bukan hanya untuk individu, tapi juga bagi pemerintah dan industri. Kita tidak bisa terus menutup mata terhadap kenyataan pahit ini. Kalau terus begini, kita bukan hanya akan kehabisan gula dan mengimpornya hingga Rp 33 triliun, tapi juga masa depan.
Jadi, lain kali ketika Anda meraih kaleng soda, ingatlah: setiap teguk itu mengandung investasi yang sangat buruk bagi kesehatan. Ia memang mendatangkan kebahagiaan sesaat, tapi sekaligus membuat Anda pelan-pelan terjerat penyakit kronis jangka panjang, pada jantung dan diabetes Anda yang tak tersembuhkan. Pilihan ada di tangan Anda.
Teguklah dengan bijak. Atau, jika ingin lebih sadar diri dan bijak, teguklah air putih saja. Siapa tahu, Anda justru menemukan keindahan dalam kesederhanaan. Karena dalam dunia yang semakin manis ini, mungkin yang kita butuhkan hanyalah sedikit rasa tawar untuk kembali ke jalan yang benar. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 2/2/2025