Home > Kolom

Catatan Cak AT: Bisnis Diatas Segalanya

Keputusan Trump tersebut tampaknya menjadi perwujudan nyata dari prinsip "bisnis adalah segalanya."
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Bisnis Diatas Segalanya. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Bisnis Diatas Segalanya. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ada ungkapan yang cukup populer di dunia politik: "Keputusan besar membutuhkan pemikiran besar."

Namun, bagaimana jika keputusan besar justru didasarkan pada ego besar? Ini dilakukan Donald Trump yang, begitu dilantik jadi Presiden, langsung membuat keputusan untuk menarik Amerika Serikat dari World Health Organization (WHO).

Keputusan Trump tersebut tampaknya menjadi perwujudan nyata dari prinsip "bisnis adalah segalanya."

Sebagai seorang pengusaha ulung, Trump mengklaim bahwa WHO terlalu mahal bagi anggaran pemerintahnya, seolah-olah kesehatan global hanyalah laporan rugi-laba. Bagi Trump, membantu WHO merugikan pemerintah AS.

Trump bukanlah yang pertama mengkritik WHO. Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan Indonesia, sudah melontarkan kritik keras terhadap organisasi ini jauh sebelum Trump mengambil alih panggung.

Siti dengan berani mengungkapkan dugaan adanya konspirasi di balik kebijakan vaksin global. Bedanya, Trump bahkan hengkang dari WHO.

Bedanya lagi, meskipun cuma mengkritik, Siti berakhir di balik jeruji besi dengan kasus yang dicari-cari, untuk menunjukkan pemerintah tunduk patuh pada bantuan WHO.

Sementara Trump, dengan tanda tangan flamboyannya, hanya melenggang pergi dari WHO. Dua tokoh, satu pandangan, tetapi nasib yang sangat berbeda.

Trump adalah sosok yang memahami "value for money." Dengan kontribusi tahunan lebih dari $100 juta, AS merupakan negara donor terbesar WHO.

Namun, bagi Trump, investasi ini tidak menghasilkan "return" yang memuaskan. Menurut kalkulasi bisnis Trump, mestinya AS yang mendapatkan nilai penjualan vaksin tersbesar, bukan China.

Di balik itu, Trump lantas mencari-cari alasan tambahan. Ia menuduh WHO gagal dalam menangani pandemi COVID-19 dan terlalu tunduk pada pengaruh politik negara-negara anggotanya, terutama China. Tentu, tuduhan ini menarik perhatian, tetapi apakah ini cukup menjadi alasan untuk menghancurkan pilar kesehatan global?

Siapa pun pengusaha ulung akan selalu melihat masalah sebagai peluang. Bagi Trump, mungkin menarik diri dari WHO merupakan langkah jitu untuk menciptakan sistem baru yang lebih menguntungkan—tentu saja untuk Amerika Serikat. Kita belum tahu apa sistem baru yang dia maksud.

Namun, dalam konteks kesehatan global, logika ini tampak seperti seorang petani yang membakar ladangnya karena merasa pupuknya terlalu mahal. Keputusan AS untuk keluar dari WHO bukan hanya urusan angka-angka dalam anggaran. Ini adalah ancaman nyata bagi negara berkembang yang sangat bergantung pada bantuan WHO.

Bayangkan, program imunisasi, pencegahan HIV, dan pengendalian tuberkulosis menjadi taruhan besar. Apa yang terjadi jika negara-negara miskin kehilangan akses ke vaksin hanya karena sang penyumbang utama memutuskan berhenti membayar tagihan? Dari mana WHO harus mencari pengganti dana 100 juta dolar?

Ironisnya, Trump sepertinya lupa bahwa virus tidak mengenal perbatasan. Dengan menarik diri dari WHO, AS sebenarnya merisikokan kesehatan rakyatnya sendiri.

Bayangkan jika wabah berikutnya muncul di negara yang tidak memiliki akses ke pengawasan epidemiologi. Tanpa kerja sama global yang dimediasi oleh WHO, akan sulit bagi dunia —termasuk Amerika Serikat— untuk merespons dengan cepat.

Di Indonesia, Siti Fadilah Supari pernah menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi negara-negara maju di WHO. Kritiknya terhadap keharusan membeli vaksin dari perusahaan asing sangat relevan dengan apa yang dilakukan Trump. Namun, keberanian Siti yang tak didukung kekuatan politik dan ekonomi membuatnya jatuh.

Sebaliknya, Trump memiliki "amunisi" kekuasaan yang cukup besar untuk menghantam WHO tanpa harus memikirkan konsekuensi pribadi. Jadi, apakah langkah Trump benar-benar solusi bagi slogan "America Great Again"? Atau ini hanya cara lain untuk menegaskan superioritas Amerika di panggung dunia?

Fakta menunjukkan bahwa keputusan ini justru membuka jalan bagi China untuk memperkuat pengaruhnya di WHO. Jika tujuan Trump adalah mengurangi ketergantungan WHO pada China, maka langkahnya justru menghasilkan efek sebaliknya. Bukan mustahil, China menutup anggaran WHO 100 juta dolar yang diganjal oleh Trump.

Keputusan AS untuk keluar dari WHO adalah momen reflektif bagi dunia. Apakah kesehatan global hanyalah permainan politik? Ataukah ini panggilan untuk membangun sistem yang lebih adil dan transparan? Seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli, solusi terbaik bukanlah menarik diri, tetapi bekerja dari dalam untuk memperbaiki kelemahan.

Dunia membutuhkan WHO, bukan karena organisasi ini sempurna, tapi karena inilah satu-satunya lembaga yang mampu mengoordinasikan respons global terhadap krisis kesehatan. Sebagai bangsa yang mengklaim diri sebagai pemimpin dunia, AS memiliki tanggung jawab moral untuk memperkuat, bukan menghancurkan, sistem ini.

Langkah Trump menarik AS dari WHO mungkin dianggap "gebrakan hebat" oleh para pendukungnya. Namun, sejarah mencatat ini sebagai pengingat bahwa ego besar tanpa empati hanya akan menghasilkan kehancuran besar. Dan bagi kita semua, inilah waktu merenung: apakah kesehatan global layak menjadi korban dari permainan politik? (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 26/1/2025

× Image