Kekerasan dan Upaya Perlindungan Anak Masih jadi PR Besar
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK — Sepanjang 2024 kembali mengingatkan kita akan kompleksitas dan urgensi melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan. Salah satunya dengan melihat hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024.
Dari survei ini diperkirakan sekitar 11,5 juta atau 50,78% anak usia 13-17 tahun, pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.
Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta yang juga aktivis perlindungan anak Fahira Idris mengungkapkan, kekerasan terhadap anak hadir dalam berbagai bentuk baik fisik, psikis, seksual, hingga eksploitasi daring, terus terjadi dan angkanya semakin bertambah. Bahkan yang membuat miris, pelaku kekerasan ini tidak terbatas pada orang dewasa, melainkan dilakukan juga oleh anak-anak.
“Faktor ekonomi, budaya patriarki, kurangnya edukasi, dan lemahnya pengawasan digital menjadi penyebab utama meningkatnya kekerasan terhadap anak. Selain itu, sistem pelaporan yang belum sepenuhnya ramah anak menyebabkan banyak kasus tidak terungkap sehingga memperburuk keadaan korban. Fenomena ini mencerminkan tantangan multidimensi yang memerlukan penanganan lintas sektor dan berkelanjutan. Itulah kenapa pencegahan dan upaya pelindungan anak dari kekerasan masih akan menjadi PR besar di tahun-tahun mendatang,” ujar Fahira Idris dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
Menurut Senator Jakarta ini, meski pemerintah telah menginisiasi berbagai langkah, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), menjadikan kekerasan anak sebagai kejahatan luar bisa, dan kampanye melawan kekerasan anak, dampaknya belum terasa signifikan. Pendataan melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menjadi langkah awal yang baik, tetapi belum cukup untuk mencegah kekerasan secara sistemik dan komprehensif.
Setidaknya, lanjut Fahira Idris, terdapat lima rekomendasi strategis untuk menghadapi tantangan kekerasan dan perlindungan anak.
Pertama, edukasi tentang kekerasan seksual dan perlindungan anak harus diintegrasikan kedalam kurikulum sekolah. Pendekatan berbasis komunitas juga perlu diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Kedua, pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak harus menjadi prioritas. Hal ini mencakup penguatan perspektif berbasis korban dan anak.
Ketiga, penggunaan teknologi digital untuk pelaporan kasus harus diperluas. Platform yang ramah anak dan melibatkan partisipasi masyarakat dapat menjadi solusi.
Keempat, korban kekerasan memerlukan dukungan psikologis, medis, dan sosial yang berkelanjutan. Fasilitas seperti rumah aman dan layanan konseling harus diperluas hingga ke tingkat desa.
Kelima, hukuman yang tegas terhadap pelaku, termasuk yang berada dalam posisi yang memiliki kekuatan dan pengaruh, akan memberikan efek jera sekaligus menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
“Melindungi anak-anak dari kekerasan bukan hanya soal regulasi, melainkan juga perubahan budaya dan pola pikir. Pemerintah bersama semua pemangku kepentingan perlu menciptakan ekosistem yang aman bagi anak-anak. Ini menjadi tantangan kita bersama di tahun-tahun mendatang,” ujar Fahira Idris. (***)