Catatan Cak AT: Air Mata Hijaukan Gurun
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- DI dunia yang dikuasai oleh megaproyek ambisius seperti pembagunan gedung pencakar langit dan mal-mal yang menghiasi setiap sudut kota, ada seorang wanita tua yang memilih jalur berbeda.
Yi Jiefang, seorang ibu dari Mongolia Dalam, telah mengabdikan hidupnya selama dua dekade untuk satu proyek sederhana namun monumental: menghijaukan gurun.
Ya, gurun. Tak tanggung-tanggung, Yi yang berusia 67 tahun itu memilih Gurun Gobi untuk ditaklukkannya bersama suami dan puluhan ribu relawan.
Gurun yang membentang di antara Cina dan Mongolia ini bukanlah tempat bagi mereka yang mencari kenyamanan. Wilayah ini hanyalah lautan pasir dan bebatuan dengan suhu ekstrem, mulai dari -40°C di musim dingin hingga 50°C di musim panas.
Di gurun yang dihindari semua orang untuk menjejaknya itu, tidak ada air mancur bergaya romantis, hanya badai pasir yang seakan-akan menertawakan siapa pun yang mencoba melawan alam.
Tetapi bagi Yi Jiefang, ini bukan sekadar gurun; hamparan pasir dan bebatuan ini adalah kanvas yang dipilihnya untuk melukiskan warisan putranya, Yang Ruizhe, yang idealis mewarisi sifat ibu dan bapaknya.
Yi Jiefang menaklukkan gurun itu dengan kekuatan air matanya yang tak habis-habisnya mengucur. Semua ini dimulai dari tragedi yang memilukan.
Putranya, Yang Ruizhe, meninggal dalam kecelakaan di Jepang pada tahun 2000, saat ia kuliah di sana.
Hari demi hari, tahun demi tahun, kenangan akan sang anak yang menjadi tumpuan harapan masa depan tak pernah lekang dari ingatan.
Ruizhe memang seorang pemuda idealis yang memimpikan gurun yang hijau, tetapi kecelakaan membuatnya tidak pernah sempat mewujudkan impian tersebut.
Namun, ibunya mengambil tongkat estafetnya, menancapkan tekad bulat mewujudkan cita-cita mulia, menggunakan asuransi jiwa putranya, menjual rumahnya, dan mengubah rasa kehilangan menjadi pohon-pohon yang menari di tengah badai pasir.
Proyeknya diberi nama Green Life. Sebuah nama sederhana yang menyimpan harapan mendalam. Dengan dana yang sebenarnya cukup untuk hidup nyaman di usia senja, Yi malah memilih untuk menanam pohon di tengah tempat yang bahkan burung pun mungkin berpikir dua kali sebelum mampir. Tiada kehidupan yang bisa diharapkan, kecuali angin yang tak pernah sepi lewat.
Mengapa bisa sekeras baja tekad Yi melangkah? Karena, seperti yang sering kita dengar di drama-drama kehidupan, "Manusia tidak dapat membawa uang setelah mati."
Kalimat ini selalu diungkapnya bagi siapa pun yang bertanya alasannya. Ah, betapa filosofisnya! Rupanya, Yi lebih tertarik membawa warisan hijau, bukan rekening tabungan yang penuh angka nol.
Dengan asuransi jiwa dan uang dari penjualan rumah, Yi memulai proyeknya Green Life tadi, bertujuan untuk menghijaukan Gurun Alxa di bagian selatan Gobi.
Dalam 20 tahun, ia bersama lebih dari 50.000 sukarelawan menanam lebih dari 10 juta pohon di area seluas 870 hektar — bandingkan dengan Kecamatan Cilandak Jakarta yang luasnya 860 hektare, mencakup daerah Fatmawati hingga Lebak Bulus.
Hasilnya? Padang pasir yang dahulu tampak seperti planet Mars kini dihiasi oleh pepohonan, burung, serangga, dan jamur. Bahkan, hewan mamalia kecil pun mulai membangun rumah di sana.
Gurun ini, yang dulunya bisu, kini menjadi simfoni kehidupan. Ironisnya, manusia yang sering dipandang sebagai perusak alam kini membuktikan bahwa mereka juga bisa menjadi pembangun.
Pohon-pohon seperti kapas putih, pinus, saxaul, dan zaitun Rusia kini tumbuh subur di sudut Gurun Gobi, menantang hukum alam yang dulu membuat wilayah ini nyaris tak tersentuh.
Upaya ini tak sederhana, memerlukan irigasi rumit, pembenahan tanah, dan semangat tak tergoyahkan —sebuah tamparan bagi kita yang merasa keberatan sekadar memelihara satu pot tanaman di rumah.
Transformasi ini tidak hanya menghidupkan kembali ekosistem, tetapi juga menyembuhkan luka emosional bagi keluarga lain yang bergabung dalam proyek penghijauan ini.
Burung, serangga, dan mamalia kecil yang kini menghuni kawasan ini seolah menjadi pemandangan bagi mereka yang ingin percaya bahwa kehilangan tidak selalu berujung kehancuran.
Tetapi, mari kita ingat: kemampuan luar biasa ini juga pedang bermata dua. Kita mampu menghijaukan gurun, tetapi kita juga yang menciptakan “kota batu,” yang berdiri megah di atas hutan yang telah kita habisi sejak Revolusi Industri.
Hamparan gurun 870 hektare memang hanya 0,00067% dari total luas Gurun Gobi yang 130 juta hektare — meskipun demikian, dampaknya tetap signifikan sebagai langkah awal menuju pemulihan lingkungan.
Coba kita bandingkan. Yi Jiefang, seorang ibu yang kehilangan segalanya, berhasil menanam jutaan pohon hanya dengan modal tekad, air mata, dan asuransi jiwa.
Di sisi lain, berapa banyak pemimpin dunia yang dengan anggaran triliunan masih sibuk berdebat tentang definisi perubahan iklim?
Namun, mari kita akui, tidak semua orang bisa menjadi Yi Jiefang. Dunia ini membutuhkan orang-orang seperti dia untuk mengingatkan kita bahwa kehijauan adalah hadiah yang tidak bisa diukur dengan uang. Bahwa terkadang, kehilangan terbesar bisa menjadi kekuatan untuk memberi kehidupan baru.
Kita merasakan, ada keindahan melankolis dalam kisah ini. Yi tidak hanya menanam pohon; ia menanam harapan, kenangan, dan cinta yang abadi.
Gurun yang hijau kini hidup, menjadi monumen cinta seorang ibu kepada anaknya. Dan mungkin, jika kita lebih banyak belajar dari Yi, dunia ini tidak akan menjadi “gurun emosional” seperti yang sering kita rasakan hari ini.
Kisah Yi adalah pelajaran bagi mereka yang merasa kecil di tengah tantangan dunia. Jika seorang wanita tua bisa mengubah gurun menjadi hijau, maka apa alasan kita untuk tidak mencoba meninggalkan jejak positif bagi dunia? Atau setidaknya, berhenti menjadi penonton pasif di tengah kehancuran lingkungan, berubah dari sekarang menjadi penggerak aktif.
Mungkin, saat Anda sedang merasa hidup terlalu berat, ingatlah Yi Jiefang. Jika seorang ibu sepuh bisa mengubah gurun pasir menjadi surga, apa yang menghentikan Anda dari menanam "pohon" di kehidupan Anda sendiri?
Di tengah badai pasir kehidupan, Yi telah menunjukkan bahwa air mata, jika diarahkan dengan benar, tidak hanya mengalir untuk meratapi, tetapi juga bisa menghidupkan. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 16/12/2024