Presiden Harap-Harap Cemas (H2C), Catatan Awal untuk Prabowo
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Akhirnya, Prabowo-Gibran sah jadi Presiden dan Wakil Presiden ke-8 (20 Oktober 2024). Beragam sikap publik muncul. Ada yang optimistis dengan mengucapkan selamat, ada yang biasa saja, ada yang istilahnya harap-harap cemas (H2C).
Di satu sisi, berharap hadir kepemimpinan yang transformasional alias membawa angin perubahan bangsa ini menuju tatanan yang lebih baik (good governance) atau sebaliknya, lebih buruk dari kepemimpinan sebelumnya (rezim Jokowi).
Saya pribadi, mewakili suasana kebatinan publik yang berada dalam posisi harap-harap cemas (H2C) itu. Kenapa? Alih-alih diawal, yang ditampakkan adalah zaken kabinet, ternyata hasilnya adalah kabinet “Gemoy” yang akomodatif terhadap beragam kepentingan.
Zaken kabinet sendiri mencerminkan tata kelola pemerintahan yang bersumber pada sistem meritokrasi. Artinya, jabatan publik harus didasarkan pada penilaian objektif dan berbasis pada prestasi dan kapabilitas. Sayang, wajah ini sepertinya tak tampak.
Pertanyaan penting lagi yang perlu diajukan, apakah Prabowo bisa jadi pemimpin sejati (the real leader)? Saya kira, banyak yang juga punya perasaan harap-harap cemas.
Kenapa? Nuansa oligarki rasa-rasanya tak bisa terlepas. Seorang profesor politik, Adam Przeworski, penulis “States and Markets” menggabarkan birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik diantara sesama anggota kartel.
Tentu, hal ini perlu menjadi perhatian. Lebih lagi, Prabowo menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Dewan Ekonomi Nasional. Tentu, membuat detak jantung harap-harap cemas semakin terasa keras.
Hanya saja, apakah publik harus pesimistis?
Kita lihat data kemiskinan pada pemerintahan sebelumnya. Target penurunan angka kemiskinan diera Presiden Joko Widodo (Jokowi) bak jauh panggang dari api. Data BPS, sampai dengan Maret 2024, angka kemiskinan sisa akhir masa jabatannya masih tercatat sebanyak 25,22 juta orang, atau 9,03 persen dari total penduduk 279 juta jiwa.
Data demikian, bisa kita baca bagaimana kemiskinan masih menjadi problem prioritas yang perlu diselesaikan. Sebuah kecemasan publik yang cukup masuk akal.
Di tengah performa politik yang kurang mengenakkan demikian, satu-satunya jalan agar publik bisa bertahan adalah kehadiran solidaritas publik. Kasus Covid-19 lalu membuktikan bagaimana solidaritas publik menyelamatkan bangsa ini.
Ke depan saya kira, di tengah pesimisme performa politik, solidaritas publik perlu terus dirawat dan dinyalakan. Hanya saja semuanya itu perlu diawali dengan membangun sebuah ruang publik yang sehat.
Filsuf Jerman, Jurgen Habermas dalam “The Structural Transformation of the Public Sphere” menggambarkan ruang publik sebagai ruang sosial tempat masyarakat bisa berdebat mengenai isu penting kehidupan sosial.
Di sini rakyat bisa berdiskusi secara bebas dan demokratis untuk memunculkan sikap dan opini publik. Jadi, ruang publik membentuk hubungan antara kehidupan publik dengan masyarakat sipil.
Dalam konteks Indonesia, tentu hal ini dimulai dari pers (jurnalisme) yang independen, bukan corong kekuasaan semata. Kritis atas beragam kebijakan pemerintah.
Sementara, publik juga perlu terus merawat akal sehat, kritis terhadap penguasa, juga mendorong ekosistem media sosial yang lebih demokratis, di mana orang tak takut melontarkan gagasan berbeda atau kritik.
Saya kira, inilah langkah awalan harapan publik untuk sedikit mencoba optimistis, sedikit punya harapan di tengah performa politik yang kurang mengenakkan demikian.
Tak mudah memang alias sulit karena semacam mencegah banalitas kejahatan (politik) yang kembali terulang. Tapi, sulit itu kategori bisa. Artinya, arah politik (kebenaran) bangsa ini masih bisa terus diupayakan.
Salam progres Indonesia.
Tanah Baru, Depok: 21 Oktober 2024.
Penulis oleh: Yons Achmad/Kolumnis, tinggal di Kota Depok.